Business

Kamis, 26 Mei 2016

Review Buku Pengantar Hukum Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes)


Pengertian, Batasan dan Istilah Hukum Internasional
Hukum Internasional ialah hukum internasional publik, yang harus kita bedakan dari hukum perdata internasional. Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi negara. Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya, ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya, terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan diaturnya (objeknya). Yang jelas ialah bahwa hubungan atau persoalan internasional demikian bukan merupakan persoalan perdata, sehingga bukan pula merupakan hubungan atau persoalan yang diatur hukum perdata internasional.
Selain menggunakan istilah Hukum Internasional, orang juga mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara untuk lapangan hukum yang sedang dibicarakan. Istilah hukum internasional ini tidak mengandung keberatan, karena perkataan internasional walaupun menurut asal katanya searti dengan antarbangsa sudah lazim dipakai orang untuk segala hal atau peristiwa yang melintasi batas wilayah suatu Negara. Hukum Bangsa-Bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa. Hukum antarbangsa atau Hukum Antarnegara akan digunakan untuk menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagai negara nasional.
Bentuk perwujudan khusus Hukum Internasional (Hukum Internasional Regional dan hukum Internasional khusus (special)) dapat dikatakan bahwa disamping hukum internasional yang berlaku umum (general) terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti apa yang lazim dinamakan hukum internasional amerika atau hukum internasional amerika latin.
Adanya berbagai lembaga hukum internasional regional demikian disebabkan oleh keadaan yang khusus terdapat dibagian dunia itu. Walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak usah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. Bahkan ada kalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep atau lembaga hukum internasional regional, kemudian diterima sebagai bagian dari Hukum Internasional Umum.
Dengan demikian Hukum Internasional Regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar-benar universal. Bentuk perwujudan lain dari hukum internasional khusus, selain hukum internasional regional, kita jumpai dalam bentuk kompleks kaidah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu saja, seperti konvensi Eropa mengenai hak-hak asasi manusia.
Beberapa bentuk hukum internasional khusus yang telah diterangkan diatas merupakan pencerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integrasi yang berbeda-beda dari bagian masyarakat internasional yang berlainan. Karena itu, ketentuan hukum internasional regional dan hukum internasional khusus ini, walaupun dapat dibedakan dari hukum internasional umum karena memiliki ciri-ciri yang khas, merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari hukum internasional umum.
Hukum internasional merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. Anggota masyarakat hukum internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dana asas yang mengikat dalam hubungan antarmereka.
Masyarakat dan Hukum Internasional. Adanya suatu masyarakat internasional karena masyarakat internasional berlainan dari suatu negara dunia merupakan kehidupan bersama dari negara-negara yang merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus dibuktikan ialah adanya sejumlah negara didunia ini.
Adanya sejumlah besar negara didunia ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi dan jelas bagi setiap orang yang memperhatikan kehidupan sehari-hari. Jumlah negara didunia pada dewasa ini melebihi seratus negara. Akan tetapi, adanya sejumlah besar negara belum berarti adanya suatu masyarakat internasional. Pertama-tama harus dapat pula ditunjukan adanya hubungan yang tetap antara anggota masyarakat internasional, apabila negara itu masing-masing hidup terpencil satu dari yang lainnya.
Adanya hubungan yang tetap dan terus-menerus demikian, juga merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Saling membutuhkan antar bangsa-bangsa diberbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus-menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang tergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama Negara dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antarnegara.
Disamping hubungan antarnegara yang resmi demikian, orang dapat juga mengadakan hubungan langsung secara perseorangan atau gabungan dilapangan perniagaan, keagamaan, ilmu penegetahuan, olahraga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jadi, yang dinamakan masyarakat internasional itu pada hakikatnya ialah hubungan kehidupan antar manusia.
Masyarakat internasional sebenarnya merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang jalin menjalin dengan erat.
Asas hukum bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Faktor pengikat yang nonmaterial ialah adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa didunia ini, bagaimanapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku dimasing-masing negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa.
Asas pokok hukum yang bersamaan inilah yang dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenal dengan asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab merupakan penjelmaan hukum alami. Adanya hukum alami yang mengharuskan bangsa-bangsa didunia ini hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia dan naluri untuk mempertahakan jenisnya.
Kedaulatan negara (hakikat dan fungsinya dalam masyarakat internasional). Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional perlu dijelaskan mengingat pentingnya peran negara dalam masyarakat dan hukum internasional. Kedaulatan merupakan kata yang sulit karena orang memberikan arti yang berlainan.
Menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari bahasa latin superanus berarti teratas. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan suatu sifat hakiki (kekuasaan tertinggi) negara. Pengertian kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi inilah yang banyak menimbulkan salah paham. Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, Negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat khas organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan.
Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batasannya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi didalam batas wilayahnya. Bahwa kekuasaan suatu negara terbatas dan bahwa batas itu terdapat dalam kedaulatan negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri dan mudah sekali dipahami apabila kita mau memikirkan persoalan ini secara konsekuen.
Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri. Paham demikian juga tidak akan bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur masyarakat itu.
Masyarakat internasional dalam peralihan (transition) atau yang biasa disebut perubahan-perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional, kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu kita perhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat internasional. Kita yang melihatnya sebgai proses pertumbuhan susunan masyarakat yang tidak wajar, yaitu suatu masyarakat internasional dimana asas pokok pergaulan internasional belum terwujud kearah suatu masyarakat dimana asas pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan, proses ini sebagai suatu proses yang tak dapat dielakkan. Perubahan terhadap konsep lama bukan sesuatu yang mengkhawatirkan melainkan harus kita lihat sebagai kejadian yang tak dapat dielakkan.
Perubahan penting yang terjadi dalam konsep ilmu hukum yang berkenaan dengan perjanjian, kewajiban negara, nasionalisasi, hukum laut publik, tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, harus dilihat sebagai proses pertumbuhan kearah hukum internasional yang wajar, bebas dari berbagai konsep dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat dominasi bangsa-bangsa oleh beberapa bangsa didunia ini. Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang besar sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum internasional yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Kenajuan teknologi persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru dan keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum perang. Perkembangan teknologi mau tidak mau harus diikuti dan dilayani oleh para sarjana Ilmu Hukum Internasional apabila cabang Ilmu Hukum tidak mau ketinggalan.
Sejarah Hukum Internasional dan Perkembangannya Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern. Bahkan, dianggap sebagai suatu peristiwa yang meletakkan dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya ialah karena dengan Perdamaian Westphalia ini telah tercapai hal seperti berikut: Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa; Perjanjian perdamaian itu mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci untuk menegakkan kembali Imperium Roma yang suci; Hubungan antar negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing danKemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di jerman diakui dalam perjanjian Westphalia itu.
Dengan demikian, Perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional maupun mengenai hakikat negara-negara itu dan pemerintahan dan pengaruh gereja. Akan tetapi, keliru sekali kalau kita menganggap Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak ada hubungannya dengan masa lampau.
Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi atau susunan masyarakat internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada abad pertengahan yang didasarkan atas sistem Feodalisme adalah sebagai berikut : Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat, setiap negara dalam batas wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif; Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan; Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan diatas mereka seperti seorang kaisar pada Zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja; Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi; Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini; Tidak adanya Mahkamah Internasional dan kekuatan Polisi Internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional; Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin belum justum sebagai ajaran perang suci kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan kepentingan nasional.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diatas diperteguh lagi dalam Perjanjian Utreht, yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional pada waktu itu karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Kejadian yang penting dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional ialah konferensi perdamaian tahun 1856 dan konferensi jenewa tahun 1864, yang memelopori konferensi perdamaian Den Haag tahun 1899 yang sangat penting artinya dalam hukum internasional. Dalam masa yang berakhir dengan diadakannya Konferensi Perdamaian Den Haag tahun 1907 diatas tadi, telah terjadi tiga hal yang penting yang dapat kita anggap sebagai ciri konsolidasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara kebangsaan.
Pertama, negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional, yaitu sesudah terjadinya perjanjian Westphalia, kekuasaan riil dalam negara masih berada dalam tangan Raja. Setelah terjadinya Revolusi Perancis dan berbagai pergolakan yang terjadi di Eropa yang mengakibatkan berpindahnya kekuasaan dari tangan raja ketangan rakyat dibanyak negara, negara kebangsaan telah benar-benar jadi negara nasional dalam arti yang sebenar-benarnya dan bukan lagi kerajaan dengan wajah baru.
Kedua, ialah diadakannya berbagai konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum dan meletakkan kaidah hukum yang berlaku secara universal.
Ketiga, dibentuknya Mahkamah Internasional Arbitrase Permanen yang merupakan suatu kejadian penting dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional. Dengan dibentuknya Mahkamah Arbitrase Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antara bangsa-bangsa yang telah merupakan suatu lembaga yang ampuh dalam masyarakat bangsa-bangsa pada abad pertengahan.
Hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional. Mengenai hal ini telah banyak dikemukakan banyak teori, teori yang tertua ialah Teori Hukum Alam. Ajaran hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan sari hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Menurut penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Dengan lain perkataan negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Khusus dalam hubungannya dengan hukum internasional, keberatan terhadap kesamaran hukum alam bertambah. Perbedaan subjektif antara isi pengertian hukum alam yang digunakan bertalian dengan kaidah moral dan keadilan tidak seberapa besar apabila ada keseragaman pandangan hidup atau filsafat dari orang-orang yang mengemukakannya.
Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada dasarnya negara yang merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini yang menyandarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman.
Seorang pengemuka lain dari aliran ini ialah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain daripada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Kelemahan teori ini ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang bergantung kepada kehendak negara dapat mengikat negara itu.
Triepel berusaha membuktikan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada hukum internasional. Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara, tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak.
Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivism yang menguasai alam pikiran dunia Ilmu Hukum di Benua Eropa. Kesukaran teori-teori yang hendak menerangkan hakikat hukum berdasarkan kehendak subjek hukum ialah bahwa dasar pikiran ini tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu.
Dengan perkataan lain, persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan berlaku lepas dari kehendak negara. Bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional.
Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan nama Mazhab Wiena. Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Berlainan dengan teori objektivis yang logis tetapi steril seperti ajaran Mazhan Wiena atau idealistis tetapi serba samar dari golongan hukum alam, ada lagi suatu aliran yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum internasional itu tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan menghubungkannya dengan kenyataan hidup manusia. Mazhab Perancis dengan para pengemukakanya mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum. Menurut mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lainnya dan kebutuhannya akan solidaritas. Jadi, dasar kekuatan mengikat hukum terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional itu seperti juga banyak persoalan lain, jawaban yang dapat diberikan terhadap persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional banyak bergantung darimana kita memandang persoalan itu atau dengan perkataan lain bergantung dari sudut pandang si pembahas.
Kita mengetahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yang pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan seperangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum.
Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu. Menurut paham dualism ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Akibat pandangan monism ini ialah bahwa antara dua perangkat ketententuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Paham ini adalah paham monism dengan primat hukum nasional. Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut dengan paham monsme dengan primat internasional.
Menurut teori monism kedua-duanya mungkin. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Karena tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia ini
Subjek Hukum Internasional, yaitu:
1. Negara, adalah subjek hukum internasional dalam arti klasik dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan, hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.
2. Takhta suci (vatikan), merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu disamping negara. Hal ini merupakan peninggalan-peninggalan sejarah sejak Zaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Takhta suci merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara italia dan takhta suci pada tanggal 11 Februari 1929 yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada takhta suci dan memungkinkan didirikannya negara vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.
3. Palang Merah Internasional, yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Bisa dikatakan bahwa organisasi ini sebagai suatu subjek hukum. Lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan kemudian konvensi-konvensi Palang Merah. Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walauoun dengan ruang lingkup yang sangta terbatas.
4. Organisasi Internasiona,l sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum adad kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Dunia (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subjek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional tadi.
5. Orang perorangan (individu), sudah lama dianggap sebagai subjek hukum internasional. Pengadilan penjahat perang di Numberg dan Tokyo telah mengesampingkan beberapa prinsip hukum yang secara umum telah dianut baik dalam hukum nasional maupun internasional antara lain bahwa seorang penjahat tidak dapat dihukum karena kebijaksanaan yang dilakukannya; Bahwa seorang penjahat tidak dapat dituntut sebgai perorangan terhadap tindakan yang dilakukannya sebagai penjahat negara.
6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent), dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu. Akhir-akhir ini timbul perkembangan baru yang walaupun mirip dengan pengakuan status pihak yang bersengketa dalam perang, memiliki cirri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasasn seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO).
Sedangkan dalam hukum intenasional sendiri terdapat Sumber Hukum Internasional, yaitu:
1. Perjanjian Internasional, yaitu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Perjanjian internasional sebagai sumber hukum, terbagi dalam 3 bagian yaitu : 1. Tentang hal membuat dan mulai berlakunya perjanjian;
2. Tentang hal penaatan perjanjian;
3. Tentang hal punahnya perjanjian.
Tentang hal membuat perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu:
1. Perundingan (negotiation);
2. Penandatanganan (signature);
3. Pengesahan (ratification);
4. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan berlakunya perjanjian.
Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab, diantaranya : a. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu;
b. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu;
c. Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;
d. Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;
e. Karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu;
f. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
 g. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain.
2. Kebiasaan Internasional, itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, yaitu suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. 2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, yaitu kebiasaan atau pola tindak yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa diatas harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional.
3. Prinsip hukum umum, menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional ialah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation). Yang dimaksud dengan asas hukum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Yang dimaksudkan dengan sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.
4. Sumber hukum tambahan, yaitu keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka di dunia. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan sumber subsidier atau sumber tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atau sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.




DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,   

Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar