Pengertian, Batasan dan
Istilah Hukum Internasional
Hukum Internasional ialah
hukum internasional publik, yang harus kita bedakan dari hukum perdata
internasional. Hukum Perdata Internasional
adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang
melintasi negara. Hukum Internasional Publik
adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat
perdata. Persamaannya, ialah bahwa
keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
(internasional). Perbedaannya,
terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan diaturnya (objeknya). Yang
jelas ialah bahwa hubungan atau persoalan internasional demikian bukan
merupakan persoalan perdata, sehingga bukan pula merupakan hubungan atau persoalan
yang diatur hukum perdata internasional.
Selain menggunakan istilah
Hukum Internasional, orang juga mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa, hukum
antarbangsa atau hukum antarnegara
untuk lapangan hukum yang sedang dibicarakan. Istilah hukum internasional ini
tidak mengandung keberatan, karena perkataan internasional walaupun menurut
asal katanya searti dengan antarbangsa sudah lazim dipakai orang untuk segala
hal atau peristiwa yang melintasi batas wilayah suatu Negara. Hukum Bangsa-Bangsa akan dipergunakan
untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan
antara raja-raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnya
maupun karena sifat hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan
antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa. Hukum antarbangsa atau Hukum
Antarnegara akan digunakan untuk menunjuk pada kompleks kaidah dan asas
yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau
negara-negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern
sebagai negara nasional.
Bentuk perwujudan khusus
Hukum Internasional (Hukum Internasional Regional dan hukum Internasional
khusus (special)) dapat dikatakan bahwa disamping hukum internasional yang
berlaku umum (general) terdapat pula hukum internasional regional, yang
terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti apa yang lazim dinamakan hukum
internasional amerika atau hukum internasional amerika latin.
Adanya berbagai lembaga
hukum internasional regional demikian disebabkan oleh keadaan yang khusus
terdapat dibagian dunia itu. Walaupun menyimpang, hukum internasional regional
itu tidak usah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. Bahkan
ada kalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh
sebagai suatu konsep atau lembaga hukum internasional regional, kemudian
diterima sebagai bagian dari Hukum Internasional Umum.
Dengan demikian Hukum Internasional Regional dapat
memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar-benar
universal. Bentuk perwujudan lain dari hukum internasional khusus, selain hukum
internasional regional, kita jumpai dalam bentuk kompleks kaidah yang khusus
berlaku bagi negara-negara tertentu saja, seperti konvensi Eropa mengenai
hak-hak asasi manusia.
Beberapa bentuk hukum
internasional khusus yang telah diterangkan diatas merupakan pencerminan
keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integrasi yang berbeda-beda
dari bagian masyarakat internasional yang berlainan. Karena itu, ketentuan
hukum internasional regional dan hukum internasional khusus ini, walaupun dapat
dibedakan dari hukum internasional umum karena memiliki ciri-ciri yang khas,
merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari hukum internasional umum.
Hukum internasional
merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional
yang sederajat. Anggota masyarakat hukum internasional tunduk pada hukum
internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat
kaidah dana asas yang mengikat dalam hubungan antarmereka.
Masyarakat dan Hukum
Internasional. Adanya suatu masyarakat internasional karena masyarakat
internasional berlainan dari suatu negara dunia merupakan kehidupan bersama
dari negara-negara yang merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus
dibuktikan ialah adanya sejumlah negara didunia ini.
Adanya sejumlah besar negara
didunia ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi dan jelas
bagi setiap orang yang memperhatikan kehidupan sehari-hari. Jumlah negara
didunia pada dewasa ini melebihi seratus negara. Akan tetapi, adanya sejumlah
besar negara belum berarti adanya suatu masyarakat internasional. Pertama-tama
harus dapat pula ditunjukan adanya hubungan yang tetap antara anggota masyarakat
internasional, apabila negara itu masing-masing hidup terpencil satu dari yang
lainnya.
Adanya hubungan yang tetap
dan terus-menerus demikian, juga merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah
lagi. Saling membutuhkan antar bangsa-bangsa diberbagai lapangan kehidupan yang
mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus-menerus antara
bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan
mengatur hubungan demikian. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan
internasional ini dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang
diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau
kelompok orang yang tergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang
berlainan itu dapat merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan
oleh para pejabat Negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama Negara
dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antarnegara.
Disamping hubungan
antarnegara yang resmi demikian, orang dapat juga mengadakan hubungan langsung
secara perseorangan atau gabungan dilapangan perniagaan, keagamaan, ilmu
penegetahuan, olahraga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jadi, yang
dinamakan masyarakat internasional itu pada hakikatnya ialah hubungan kehidupan
antar manusia.
Masyarakat internasional
sebenarnya merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka
ragam masyarakat yang jalin menjalin dengan erat.
Asas hukum bersamaan sebagai
unsur masyarakat hukum internasional. Faktor pengikat yang nonmaterial ialah
adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa didunia ini, bagaimanapun
berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku dimasing-masing negara tanpa
adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa.
Asas pokok hukum yang
bersamaan inilah yang dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenal dengan
asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab merupakan
penjelmaan hukum alami. Adanya hukum alami yang mengharuskan bangsa-bangsa
didunia ini hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal
manusia dan naluri untuk mempertahakan jenisnya.
Kedaulatan negara (hakikat
dan fungsinya dalam masyarakat internasional). Hakikat dan fungsi kedaulatan
dalam masyarakat internasional perlu dijelaskan mengingat pentingnya peran
negara dalam masyarakat dan hukum internasional. Kedaulatan merupakan kata yang
sulit karena orang memberikan arti yang berlainan.
Menurut sejarah, asal kata
kedaulatan yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari bahasa latin superanus berarti teratas. Negara
dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan suatu sifat hakiki (kekuasaan
tertinggi) negara. Pengertian kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi
inilah yang banyak menimbulkan salah paham. Menurut asal katanya, kedaulatan
memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa
negara itu tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya
sendiri. Dengan perkataan lain, Negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat
khas organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi
membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan.
Walaupun demikian, kekuasaan
tertinggi ini mempunyai batasannya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini
dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki
kekuasaan tertinggi didalam batas wilayahnya. Bahwa kekuasaan suatu negara
terbatas dan bahwa batas itu terdapat dalam kedaulatan negara lain merupakan
konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri dan mudah sekali dipahami
apabila kita mau memikirkan persoalan ini secara konsekuen.
Dilihat secara demikian,
paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya suatu masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara yang masing-masing berdiri
sendiri. Paham demikian juga tidak akan bertentangan dengan hukum internasional
yang mengatur masyarakat itu.
Masyarakat internasional
dalam peralihan (transition) atau yang biasa disebut perubahan-perubahan dalam
peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional, kini
sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu kita perhatikan
untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat internasional. Kita yang
melihatnya sebgai proses pertumbuhan susunan masyarakat yang tidak wajar, yaitu
suatu masyarakat internasional dimana asas pokok pergaulan internasional belum
terwujud kearah suatu masyarakat dimana asas pokok masyarakat dan hukum
internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan, proses ini sebagai
suatu proses yang tak dapat dielakkan. Perubahan terhadap konsep lama bukan
sesuatu yang mengkhawatirkan melainkan harus kita lihat sebagai kejadian yang
tak dapat dielakkan.
Perubahan penting yang
terjadi dalam konsep ilmu hukum yang berkenaan dengan perjanjian, kewajiban
negara, nasionalisasi, hukum laut publik, tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan,
harus dilihat sebagai proses pertumbuhan kearah hukum internasional yang wajar,
bebas dari berbagai konsep dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat
dominasi bangsa-bangsa oleh beberapa bangsa didunia ini. Perkembangan kedua
yang mempunyai akibat yang besar sekali terhadap perkembangan masyarakat
internasional dan hukum internasional yang mengaturnya ialah kemajuan
teknologi. Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya
perhubungan yang melintasi batas negara. Kenajuan teknologi persenjataan menimbulkan
berbagai masalah baru dan keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum
perang. Perkembangan teknologi mau tidak mau harus diikuti dan dilayani oleh
para sarjana Ilmu Hukum Internasional apabila cabang Ilmu Hukum tidak mau
ketinggalan.
Sejarah Hukum Internasional
dan Perkembangannya Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting
dalam sejarah hukum internasional modern. Bahkan, dianggap sebagai suatu
peristiwa yang meletakkan dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan
atas negara-negara nasional. Sebabnya ialah karena dengan Perdamaian Westphalia
ini telah tercapai hal seperti berikut: Selain mengakhiri perang 30 tahun,
Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang
telah terjadi karena perang itu di Eropa; Perjanjian perdamaian itu mengakhiri
untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci untuk menegakkan kembali
Imperium Roma yang suci; Hubungan antar negara-negara dilepaskan dari persoalan
hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu
masing-masing danKemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di
jerman diakui dalam perjanjian Westphalia itu.
Dengan demikian, Perjanjian
Westphalia telah meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional
yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional
maupun mengenai hakikat negara-negara itu dan pemerintahan dan pengaruh gereja.
Akan tetapi, keliru sekali kalau kita menganggap Perjanjian Westphalia ini
sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan suatu zaman baru dalam sejarah
masyarakat internasional yang tidak ada hubungannya dengan masa lampau.
Ciri-ciri pokok yang membedakan
organisasi atau susunan masyarakat internasional yang baru ini dari susunan
masyarakat Kristen Eropa pada abad pertengahan yang didasarkan atas sistem Feodalisme adalah sebagai berikut : Negara
merupakan satuan teritorial yang berdaulat, setiap negara dalam batas wilayahnya
mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif; Hubungan nasional satu dengan
yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan; Masyarakat
negara-negara tidak mengakui kekuasaan diatas mereka seperti seorang kaisar
pada Zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja; Hubungan antara
negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian
lembaga hukum perdata hukum Romawi; Negara mengakui adanya hukum internasional
sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, tetapi menekankan
peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini; Tidak
adanya Mahkamah Internasional dan kekuatan Polisi Internasional untuk
memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional; Anggapan terhadap perang
yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai
doktrin belum justum sebagai ajaran perang suci kearah ajaran yang menganggap
perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa
untuk mencapai tujuan kepentingan nasional.
Dasar-dasar yang diletakkan
dalam Perjanjian Westphalia diatas diperteguh lagi dalam Perjanjian Utreht,
yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional pada waktu itu
karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Kejadian yang penting
dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional ialah konferensi perdamaian
tahun 1856 dan konferensi jenewa tahun 1864, yang memelopori konferensi
perdamaian Den Haag tahun 1899 yang sangat penting artinya dalam hukum
internasional. Dalam masa yang berakhir dengan diadakannya Konferensi
Perdamaian Den Haag tahun 1907 diatas tadi, telah terjadi tiga hal yang penting
yang dapat kita anggap sebagai ciri konsolidasi masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara-negara kebangsaan.
Pertama, negara sebagai
kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah
menjadi kenyataan. Dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional,
yaitu sesudah terjadinya perjanjian Westphalia, kekuasaan riil dalam negara
masih berada dalam tangan Raja. Setelah terjadinya Revolusi Perancis dan berbagai
pergolakan yang terjadi di Eropa yang mengakibatkan berpindahnya kekuasaan dari
tangan raja ketangan rakyat dibanyak negara, negara kebangsaan telah
benar-benar jadi negara nasional dalam arti yang sebenar-benarnya dan bukan
lagi kerajaan dengan wajah baru.
Kedua, ialah diadakannya
berbagai konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai sebagai konferensi
untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum dan meletakkan
kaidah hukum yang berlaku secara universal.
Ketiga, dibentuknya Mahkamah
Internasional Arbitrase Permanen yang merupakan suatu kejadian penting dalam
mewujudkan suatu masyarakat internasional. Dengan dibentuknya Mahkamah
Arbitrase Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian
antara bangsa-bangsa yang telah merupakan suatu lembaga yang ampuh dalam
masyarakat bangsa-bangsa pada abad pertengahan.
Hakikat dan dasar berlakunya
hukum internasional. Mengenai hal ini telah banyak dikemukakan banyak teori,
teori yang tertua ialah Teori Hukum Alam.
Ajaran hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak
permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri keagamaan
yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan sari hubungannya dengan keagamaan
itu oleh Hugo Grotius. Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan
atas hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang
diilhamkan alam pada akal manusia. Menurut penganut ajaran hukum alam ini,
hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain
daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Dengan lain perkataan negara
itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka
satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang
lebih tinggi yaitu hukum alam. Khusus dalam hubungannya dengan hukum
internasional, keberatan terhadap kesamaran hukum alam bertambah. Perbedaan
subjektif antara isi pengertian hukum alam yang digunakan bertalian dengan
kaidah moral dan keadilan tidak seberapa besar apabila ada keseragaman
pandangan hidup atau filsafat dari orang-orang yang mengemukakannya.
Aliran lain mendasarkan
kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri
untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka, pada dasarnya negara
yang merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional itu mengikat karena
negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini
yang menyandarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai
pengaruh yang luas di Jerman.
Seorang pengemuka lain dari
aliran ini ialah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain
daripada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Kelemahan teori
ini ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana
caranya hukum internasional yang bergantung kepada kehendak negara dapat
mengikat negara itu.
Triepel berusaha membuktikan
bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak
mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak
bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
hukum internasional. Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada
kehendak negara, tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya
dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak.
Teori-teori yang mendasarkan
berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara ini merupakan
pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran
positivism yang menguasai alam pikiran dunia Ilmu Hukum di Benua Eropa.
Kesukaran teori-teori yang hendak menerangkan hakikat hukum berdasarkan
kehendak subjek hukum ialah bahwa dasar pikiran ini tidak bisa diterima.
Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar kekuatan hukum yang
mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan
mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum
itu.
Dengan perkataan lain,
persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya
suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan
berlaku lepas dari kehendak negara. Bukan kehendak negara melainkan suatu norma
hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional.
Demikianlah pendirian suatu
aliran yang terkenal dengan nama Mazhab
Wiena. Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum
internasional didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya
didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian
seterusnya. Berlainan dengan teori objektivis yang logis tetapi steril seperti
ajaran Mazhan Wiena atau idealistis tetapi serba samar dari golongan hukum
alam, ada lagi suatu aliran yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum
internasional itu tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan
menghubungkannya dengan kenyataan hidup manusia. Mazhab Perancis dengan para pengemukakanya mendasarkan kekuatan
mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum. Menurut mereka
persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk
sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lainnya dan kebutuhannya akan
solidaritas. Jadi, dasar kekuatan mengikat hukum terdapat dalam kenyataan
sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan
manusia untuk hidup bermasyarakat.
Hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional itu seperti juga banyak persoalan lain,
jawaban yang dapat diberikan terhadap persoalan hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional banyak bergantung darimana kita memandang
persoalan itu atau dengan perkataan lain bergantung dari sudut pandang si pembahas.
Kita mengetahui bahwa dalam
teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yang pandangan yang
dinamakan voluntarisme, yang
mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara dan
pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini
lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang
berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya
hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan seperangkat hukum
yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis
menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum.
Erat hubungannya dengan apa
yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat
hukum itu. Menurut paham dualism ini
yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada
kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem
atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia. Akibat pandangan monism ini ialah bahwa antara dua
perangkat ketententuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Ada pihak yang
menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
yang utama adalah hukum nasional. Paham ini adalah paham monism dengan primat hukum nasional. Paham yang lain
berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut dengan paham monsme dengan primat internasional.
Menurut teori monism
kedua-duanya mungkin. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan
hukum internasional dengan primat nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa
hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Karena tidak ada satu
organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia
ini
Subjek Hukum Internasional,
yaitu:
1. Negara, adalah subjek hukum internasional dalam arti klasik dan
telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan, hingga
sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya
adalah hukum antarnegara.
2. Takhta suci (vatikan), merupakan suatu contoh dari suatu subjek
hukum internasional yang telah ada sejak dahulu disamping negara. Hal ini
merupakan peninggalan-peninggalan sejarah sejak Zaman dahulu ketika Paus bukan
hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Takhta
suci merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya
dengan negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara
italia dan takhta suci pada tanggal 11 Februari 1929 yang mengembalikan sebidang
tanah di Roma kepada takhta suci dan memungkinkan didirikannya negara vatikan,
yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.
3. Palang Merah Internasional, yang berkedudukan di Jenewa mempunyai
tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Bisa dikatakan bahwa
organisasi ini sebagai suatu subjek hukum. Lahir karena sejarah walaupun
kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan kemudian konvensi-konvensi
Palang Merah. Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai
organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum
internasional walauoun dengan ruang lingkup yang sangta terbatas.
4. Organisasi Internasiona,l sebagai subjek hukum internasional
sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum adad kepastian
mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan Organisasi Buruh Dunia (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang
ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam
anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat dikatakan
bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subjek hukum
internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang
bersumberkan konvensi internasional tadi.
5. Orang perorangan
(individu), sudah lama dianggap sebagai subjek hukum internasional. Pengadilan
penjahat perang di Numberg dan Tokyo telah mengesampingkan beberapa prinsip
hukum yang secara umum telah dianut baik dalam hukum nasional maupun internasional
antara lain bahwa seorang penjahat tidak dapat dihukum karena kebijaksanaan
yang dilakukannya; Bahwa seorang penjahat tidak dapat dituntut sebgai
perorangan terhadap tindakan yang dilakukannya sebagai penjahat negara.
6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent), dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa
keadaan tertentu. Akhir-akhir ini timbul perkembangan baru yang walaupun mirip
dengan pengakuan status pihak yang bersengketa dalam perang, memiliki cirri
lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasasn seperti Gerakan
Pembebasan Palestina (PLO).
Sedangkan dalam hukum
intenasional sendiri terdapat Sumber
Hukum Internasional, yaitu:
1. Perjanjian Internasional, yaitu perjanjian yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum
tertentu. Perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang
menjadi anggota masyarakat internasional. Perjanjian internasional sebagai
sumber hukum, terbagi dalam 3 bagian yaitu : 1. Tentang hal membuat dan mulai
berlakunya perjanjian;
2. Tentang hal penaatan
perjanjian;
3. Tentang hal punahnya
perjanjian.
Tentang hal membuat
perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu:
1. Perundingan
(negotiation);
2. Penandatanganan
(signature);
3. Pengesahan (ratification);
4. Tentang hal berakhir atau
ditangguhkan berlakunya perjanjian.
Secara umum suatu perjanjian
bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab, diantaranya : a. Karena telah
tercapai tujuan perjanjian itu;
b. Karena habis waktu
berlakunya perjanjian itu;
c. Karena punahnya salah
satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;
d. Karena adanya persetujuan
dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;
e. Karena diadakannya
perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang
terdahulu;
f. Karena dipenuhinya syarat
tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
g. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh
salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain.
2. Kebiasaan Internasional, itu merupakan sumber hukum perlu terdapat
unsur-unsur sebagai berikut : 1. Harus
terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, yaitu suatu pola tindak yang
berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal
dan keadaan yang serupa pula. 2. Kebiasaan
itu harus diterima sebagai hukum, yaitu kebiasaan atau pola tindak yang
merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa
diatas harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional.
3. Prinsip hukum umum, menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah
Internasional ialah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
(general principles of law recognized by civilized nation). Yang dimaksud
dengan asas hukum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Yang
dimaksudkan dengan sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang
didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar
didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.
4. Sumber hukum tambahan, yaitu keputusan pengadilan dan pendapat para
sarjana terkemuka di dunia. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
hanya merupakan sumber subsidier atau sumber tambahan. Artinya keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya
kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atau sumber
primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum. Keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat, artinya tidak
dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja &
Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum
Internasional, Alumni,
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar