BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak
adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akanmenjadi
penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih
sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada
anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu
dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga,
lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Pasal 28b
ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminas”. Namun apakah pasal tersebut sudah dilaksanakan dengan benar
seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan
dalam pasal tersebut.
Berbagai jenis
kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental
maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak
biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti
keluarga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga
memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya
dihajar ole gurunya sendiri.
Kondisi
ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada
penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak
terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan
kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta
kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan
kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin
oleh pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau perundang-undangan
Indonesia, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut,baik terhadap perbuatan,
pelaku maupun anak sebagai korban kekerasan.
Jika ada ungkapan bahwa anak adalah
titipan Tuhan yang harus dijaga tentunya ungkapan tersebut bukanlah ungkapan
yang tanpa makna. Pada waktu dilahirkan anak memberikan kepercayaan sepenuhnya
pada kedua orang tua untuk mengasuh dirinya. Anak tidak pernah berprasangka
bahwa orang tua merekalah yang akan menghancurkan hidup mereka. Demikian juga
harapan setiap anak terhadap orang dewasa lain disekitarnya. Mereka percaya
100% bahwa tidak ada seorang pun yang akan menyakiti dirinya. Alam menitipkan
si mungil pada orang dewasa karena tidak seperti kebanyakan binatang manusia
membutuhkan waktu yang lama untuk mandiri. Namun jika kita menilik pemberitaan di berbagai media setiap
harinya, hampir tak luput dari pemberitaan adanya kekerasan terhadap anak.
Bukan lagi dikarenakan konteks wilayah antara kota dan desa lagi, tapi hamper
merata terjadi di seluruh area. Mengamati fenomena yang semakin tidak ber’adab’
terhadap hak asasi manusia terutama hak perlindungan terhadap anak
itulah,penulis mencoba untuk membahasnya lebih lanjut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Pengertian
Anak Menurut Undang-Undang
2. Pengertian
kekerasan terhadap anak menurut para ahli
3. Faktor-faktor
yang memicu kekerasan terhadap anak
4. Bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak
5. Dampak
kekerasan terhadap anak
6. Perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan
7. solusi
pencegahan kekerasan terhadap anak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Anak Menurut UU
Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1
nomor 1 bahwa: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.
Pengertian
anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam
Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam pengertian
dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU
No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak,
yakni:
Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati
batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap,
dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa.Dalam hal ini, tidak
dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi,
UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi
diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No.
23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa
yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap
orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum
dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang
diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Hak
Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
1) Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun
2002
Hak anak adalah bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam
UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah
menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar
maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak
angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak
mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan
dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat
berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan
orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan
politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1)
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan
di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup
untuk umum.
(2)
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
B.
Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Para Ahli
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak
adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan
kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi
tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai
bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk
penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan
kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang
lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan
merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat
kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak
negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat
dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap
kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima
mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap
anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
C.
Faktor faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
terhadap Anak
Ada banyak
faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
·
Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton
tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over
protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya
meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
·
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme,
terlalu lugu
·
Kemiskinan keluarga (banyak anak).
·
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian,
ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
·
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak
mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak
lahir diluar nikah.
·
Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering
memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
·
Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
·
Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa
menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
·
Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
D.
Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1.Kekerasan Fisik
Bentuk
kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh
korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun
(32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi
memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan
lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka
dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal.
2. Kekerasan secara Verbal
Bentuk
kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap
sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian,
maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar
untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa
menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk
kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih
besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18
tahun (0.9%)Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap
anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering
membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa
menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu
anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa
mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk
kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak,
seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri.Kasus
pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia
0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan
maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma
mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai
bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas,
bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik,
psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan
ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89.
Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak
adalah sebagai berikut:
1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya (Pasal 77);
2) penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social
(Pasal 77);
a. membiarkan anak dalam situasi
darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam
situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
b. membiarkan anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya
(napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
c. pengangkatan anak yang tidak sesuai
dengan Pasal 39 (Pasal 79);
3) melakukan kekejaman, kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
4) melakukan kekerasan terhadap anak
untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81)
5) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
6) memperdagangkan, menjual, atau
menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
7) melakukan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
8) melakukan jual beli organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
9) melakukan pengambilan organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau
penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
10) membujuk anak untuk memilih agama
lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
11) mengeksploitasi ekonomi dan seksual
anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
12) menempatkan, membiarkan,
melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau
distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya
(napza) (Pasal89).
E.
Dampak dari Kekerasan pada Anak
Dampak kekerasan pada anak yang
diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara
lain:
1. Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku
kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa
melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya itu
ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak
agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul
karena telah mengalami tindak kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi
anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan
berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, dan
terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan
aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa
melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia
tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak
kekerasan terhadap orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukannya dulu.Ia belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi
sesuai dengan apa yang dia alami.
F.
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan
Perlindungan
anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup,
mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam
pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para
pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut
pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Pada
umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan
langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan
non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya
meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan
atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam
dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial),
pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh),
pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan,
upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan
perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak
serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga,
pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan
sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan
anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita,
1996:7)
Kedua
upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari
perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung
tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan
tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan
terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi
menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari
dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh
para partisipan tersebut.
Upaya-upaya
ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan
perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau
dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis,
meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
(Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat
perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU
Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum
lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan tersebut.
Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara
tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan
terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk
perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang
berbunyi:
“Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan”.
Kemudian
dalam Pasal 18 disebutkan:
“Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhakmemperoleh bantuan
hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2
dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain.
Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih
lanjut.
Kemudian
perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya
disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan
medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan
beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan,
sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara
khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian
kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam
ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlidungan
khusus
bagi anak korban kekerasan.
Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan
pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya,
perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan
prosesnya, yaitu melalui:
1) upaya rehabilitasi, baik dalam
lembaga maupun di luar lembaga;
2) upaya perlindungan dari pemberitaan
identitas melalui media massa dan menghindari
labelisasi;
3) pemberian jaminan keselamatan bagi
saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan
4) pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi
anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan
melalui:
1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi
ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian
sanksi; dan
3) pelibatan pemerintah dan masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut,
semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang
diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara
langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan
tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang
dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal
74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak
korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada
tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau
penderiataan anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan terhadap anak korban
kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui
pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari
pembuat kebijakan.
Berbagai
bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn
korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian
perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini
sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan
kerugian, baik ekonomi maupun fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti
dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk
perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat
langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara
jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban
kekerasan baik dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga
dalam kehidupan selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan
hukum yang jelas.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
Dalam kasus kekerasan pada anak ini, agar anak terhindar dari bentuk
kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu
diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
1) Jangan sering mengabaikan anak,
karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kurangnya
perhatian terhadap anak.Namun hal ini berbeda dengan memanjakan anak.
2) Tanamkan sejak dini pendidikan agama
pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak agar berbuat baik, hal ini
dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasn itu sendiri.
3) Sesekali bicaralah secara terbuka
pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara apa adanya/berterus
terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik
dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadp anak, karena
banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat
diungkap.
4) Ajarkan kepada anak untuk bersikap
waspada seperti jangan terima ajakan orang yang kurang dikenal dan lain-lain.
5) Sebaiknya orang tua juga bersikap
sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak tetaplah seorang anak yang
masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena kurangnya kesabaran
orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya
sendiri
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga,
masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang
tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk
melindungi anak dan mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan
Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya pemberian tindak pidana
bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan yang
melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa semua
anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan yang sama
pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak
yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang
sama dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak
asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang
diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan dengan hukum,
pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak, serta
penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan
perlindungan khusus.
2. Saran
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan
atau peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan
merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang
berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan
dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan tanggung jawab
seperti yang telah tercatum diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober
1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia
Joni, Muhammad, (1999) Aspek
Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti
Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober
1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,
Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar
Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia,
Jakarta 2000
Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah
perlindungan anak “ ,
Arief, Barda Nawawi,
(1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Undang-undang terdiri atas:
KUHP
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar