BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan
internasional adalah hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang di
lakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Warsito
sunaryo mengatakan bahwa,
hubungan internasional adalah studi tentang interaksi antara jenis
kesatuan-kesatuan tertentu (subjek hukum internasional) termasuk studi tentang
keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.
Hubungan internasional merupakan suatu hal yang sangat diperlukan
dalam kehidupan dunia, karena tidak ada satu negara pun di dunia yang bisa
hidup sendiri tanpa adanya ketergantungan terhadap negara lain. Dengan adanya
hubungan internasional maka suatu negara dapat memenuhi kebutuhan negara dan
warga negaranya yang belum bisa di sediakan oleh negara tersebut.
Persoalan mengenai hukum
internasional selalu memberikan kesan yang menarik untuk di bahas. Topik ini
senantiasa memberikan daya tarik yang tinggi pada setiap orang. Secara teori
hukum internasional mengacu pada peraturan-peraturan dan norma-norma yang
mengatur tindakan Negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat akan
diakui mempunyaikepribadian internasional, seperti misalnya
organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan yang
lainnya.
Negara-negara
perlu hidup bersama-sama. Hukum internasional disusun dan lahir karena
kebutuhan dan dirancang untuk mencapai ketertiban dan perdamaian dunia. Suatu
sistem yang bertujuan untuk men-cap suatu negara sebagai “bersalah” dan negara
lain sebagai “tidak bersalah” dan partisiapasi utama dari sistem hukum
internasional yaitu negara-negara yang semuanya diperlakukan sebagai pemilik
kedaulatan yang sama.
Hubungan-hubungan
internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya terjalin dengan baik. Seringkali
hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula
dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara
dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan,
dll. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan
yang tidak kecil dalam penyelesaiannya. Seiring
perkembangan zaman, hukum internasional juga terus berkembang. Sejak
pergaulan internasional makin meningkat menjelang abad 19 hukum internasional
telah menjadi suatu sistem universil dan pada abad 20 telah merupakan suatu
perluasan yang tidak ada tandingannya.
Sebelum menganalisis paradigma baru hukum
internasional ini, kita harus secara singkat menyentuh pada dugaan hubungan
antara sanksi dan demokratisasi. Dalam kasus di mana negara target rezim
otokratis, teori sanksi menyatakan bahwa tekanan ekonomi pada orang-orang biasa
menghasilkan ketidakpuasan yang luas dan akhirnya pemberontakan. Push bottom-up
dari orang-orang tidak hanya memaksa negara ditargetkan untuk mengubah arah
tetapi juga membuka jalan bagi akuntabilitas internal lainnya di negara itu.
Hal
itulah yang sangat menarik untuk kita amati, bagaimana peranan yang
seharusnya dilakukan oleh hukum internasional dalam menegakkan keadilan demi
tercapainya perdamaian dunia.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Hukum Internasional?
2. Bagaimana
pengembangan Hukum Internasional?
3. Apa
saja sumber-sumber Hukum Internasional?
4. Apa
saja Sengketa sanksi ekonomi dalam Hukum Internasioanal?
5. Bagaimana
sejarah sanksi ekonomi?
C. Tujuan
Penelitian
Makalah ini bertujuan untuk
mengertahui:
1. Apa
itu Hukum Internasional?
2. Bagaimana
pengembangan Hukum Internasional?
3. Apa
saja sumber-sumber Hukum Internasional?
4. Apa
saja Sengketa sanksi ekonomi dalam Hukum Internasioanal?
5. Bagaimana
sejarah sanksi ekonomi? BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan
internasional adalah hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang di
lakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Warsito
sunaryo mengatakan bahwa,
hubungan internasional adalah studi tentang interaksi antara jenis
kesatuan-kesatuan tertentu (subjek hukum internasional) termasuk studi tentang
keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.
Hubungan internasional merupakan suatu hal yang sangat diperlukan
dalam kehidupan dunia, karena tidak ada satu negara pun di dunia yang bisa
hidup sendiri tanpa adanya ketergantungan terhadap negara lain. Dengan adanya
hubungan internasional maka suatu negara dapat memenuhi kebutuhan negara dan
warga negaranya yang belum bisa di sediakan oleh negara tersebut.
Persoalan mengenai hukum
internasional selalu memberikan kesan yang menarik untuk di bahas. Topik ini
senantiasa memberikan daya tarik yang tinggi pada setiap orang. Secara teori
hukum internasional mengacu pada peraturan-peraturan dan norma-norma yang
mengatur tindakan Negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat akan
diakui mempunyaikepribadian internasional, seperti misalnya
organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan yang
lainnya.
Negara-negara
perlu hidup bersama-sama. Hukum internasional disusun dan lahir karena
kebutuhan dan dirancang untuk mencapai ketertiban dan perdamaian dunia. Suatu
sistem yang bertujuan untuk men-cap suatu negara sebagai “bersalah” dan negara
lain sebagai “tidak bersalah” dan partisiapasi utama dari sistem hukum
internasional yaitu negara-negara yang semuanya diperlakukan sebagai pemilik
kedaulatan yang sama.
Hubungan-hubungan
internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya terjalin dengan baik. Seringkali
hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula
dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara
dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan,
dll. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan
yang tidak kecil dalam penyelesaiannya. Seiring
perkembangan zaman, hukum internasional juga terus berkembang. Sejak
pergaulan internasional makin meningkat menjelang abad 19 hukum internasional
telah menjadi suatu sistem universil dan pada abad 20 telah merupakan suatu
perluasan yang tidak ada tandingannya.
Sebelum menganalisis paradigma baru hukum
internasional ini, kita harus secara singkat menyentuh pada dugaan hubungan
antara sanksi dan demokratisasi. Dalam kasus di mana negara target rezim
otokratis, teori sanksi menyatakan bahwa tekanan ekonomi pada orang-orang biasa
menghasilkan ketidakpuasan yang luas dan akhirnya pemberontakan. Push bottom-up
dari orang-orang tidak hanya memaksa negara ditargetkan untuk mengubah arah
tetapi juga membuka jalan bagi akuntabilitas internal lainnya di negara itu.
Hal
itulah yang sangat menarik untuk kita amati, bagaimana peranan yang
seharusnya dilakukan oleh hukum internasional dalam menegakkan keadilan demi
tercapainya perdamaian dunia.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Hukum Internasional?
2. Bagaimana
pengembangan Hukum Internasional?
3. Apa
saja sumber-sumber Hukum Internasional?
4. Apa
saja Sengketa sanksi ekonomi dalam Hukum Internasioanal?
5. Bagaimana
sejarah sanksi ekonomi?
C. Tujuan
Penelitian
Makalah ini bertujuan untuk
mengertahui:
1. Apa
itu Hukum Internasional?
2. Bagaimana
pengembangan Hukum Internasional?
3. Apa
saja sumber-sumber Hukum Internasional?
4. Apa
saja Sengketa sanksi ekonomi dalam Hukum Internasioanal?
5. Bagaimana
sejarah sanksi ekonomi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Hukum Internasional
Pada umumnya hukum internasional
diartikan sebagai himpunan peraturan-peraturan dan ketetntuan-ketentuan yang
mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum
lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Definisi hukum internasional
yang diberikan oleh para pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti oppenheim dan brierly, terbatas pada negara
sebagi satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek hukum lainnya.
Namun dengan
perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh kedua abad 20 dan
pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian
meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku
organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional, dan
gerakan-pembebasan pembebasan nasional. Bahkan, dalam hal tertentu, hukum
internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya
dengan negara-negara.
Sedangkan menurut pendapat Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H. Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah –
kaidah dan asas – asas hukum dan mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas – batas negara yaitu hubungan internasional yang tidak bersifat
perdata.
Selain itu hukum Internasional dapat didefinisikan
sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa
dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar-benar ditaati secara umum
dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan meliputi juga:
1. Kaidah-kaidah
hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan antara mereka satu sama
lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu,
2. Kaidah-kaidah
hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan
non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut
penting bagi masyarakat internasional.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa hukum internasional adalahbagian hukum yang
mengatur aktivitas entitas berskala internasional atau
merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas negara antara negara dengan Negara serta negara dengan subyek
hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
B.
Perkembangan Hukum Internasional
Hukum internasional sebenarnya sudah
sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang
Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius
Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku
bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah
hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius
Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih
dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de
Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagaiLaw of Nations (Inggris).
Sesungguhnya, hukum internasional
modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya
Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years
war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang
bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan
dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh
dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. Perkembangan
hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh
kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis
dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis,
prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan
manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal,
sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan
bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum
alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah
Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan
Alberico Gentillis.
Sementara itu, menurut golongan
Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip
yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum
internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan
dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang
dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social,
La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah
pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini,
antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de
Vattel.
C.
Sumber-sumber Hukum Internasional
Pada dasarnya, sumber hukum terbagi
menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam
arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas
materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri.
Sumber hukum dalam arti formal
adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu
sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku.
Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah
tertentu.
Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:
1.
Dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional;
2.
Metode penciptaan hukum internasional;
3.
Tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit. (Burhan
Tsani, 1990; 14)
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh
Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1.
Perjanjian internasional (international conventions),
baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2.
Kebiasaan internasional (international custom);
3.
Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law)
yang diakui oleh negara-negara beradab;
4.
Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat
para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum
internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197)
D.
Sengketa
Internasional Sanksi Ekonomi
Bnyak masalah bahkan urusan domestik
dan internasional yang terjerat dengan sanksi ekonomi dan konsekuensinya. Yang
cukup menarik, tiga dari lima isu kebijakan luar negeri ditangani oleh Obama
terlibat sanksi ekonomi dan embargo. Dari Iran negosiasi dan pencairan baru
dengan Kuba untuk tekanan pada pemerintah Putin, sanksi ekonomi tampaknya
memainkan peran penting. Berfokus pada kasus Iran, seseorang dapat mengamati
bagaimana sanksi ekonomi bermain dalam dinamika internasional serta politik
dalam negeri.
Partai Republik berpendapat bahwa
jika kita menekan Iran lebih lanjut dengan sanksi lebih sangat mungkin mereka
akan segera menyerah untuk ambisi nuklir sama sekali dengan kebutuhan minimal
untuk diplomasi dan negosiasi yang sia-sia panjang. Itulah ide di balik RUU
diperkenalkan pada tanggal 11 Desember 2013 sampai Kongres untuk pelaksanaan
sanksi baru, hanya beberapa minggu setelah P5 + 1 mencapai kesepakatan
sementara dengan Iran. Dengan kemenangan Partai Republik dalam pemilu November
jangka menengah, mendorong sanksi baru dan menghentikan pembicaraan mendapatkan
momentum lagi.
Apakah pembicaraan nuklir berhasil
atau gagal, kasus Iran akan dihargai sebagai contoh lain untuk keberhasilan
sanksi ekonomi dalam menjaga ketertiban dunia. Namun, paradigma yang telah
membentuk sekitar sanksi ekonomi menderita kontradiksi mendalam. Tujuan dari
bagian ini adalah untuk memotong dan mendekonstruksi teori sanksi, dan untuk
menunjukkan paradoks dan inkonsistensi normatif. Bagian pertama menceritakan
logika mendukung sanksi. Bagian berikut menunjukkan kelemahan logika sanksi.
Bagian terakhir menunjukkan kekurangan normatif dan teoritis dari teori sanksi
vis-à-vis teori hubungan internasional.
Legalitas pengenaan sanksi
tercermin dalam Pasal 41 dari Piagam PBB. Pasal ini merupakan bagian dari Bab
VII dari theU.N. Piagam, yang bertujuan untuk "memulihkan perdamaian dan
keamanan. Internasional" Dalam benak para perancang tatanan hukum dunia
baru "interupsi lengkap atau sebagian dari hubungan ekonomi" akan
mengembalikan-atau setidaknya berkontribusi pada pemulihan-internasional
perdamaian dan ketertiban. Alat ini pemaksaan dan kepatuhan dalam hukum internasional
sebagian besar tetap aktif dan kurang dimanfaatkan sampai era pasca Perang
Dingin-. Hanya pada tahun 1966 dan 1977 Dewan Keamanan tidak memberlakukan
sanksi terhadap Rhodesia Selatan dan Afrika Selatan, masing-masing. Ini adalah
akhir dari bi-polaritas agar internasional yang bergeser paradigma terhadap
penggunaan liberal sanksi ekonomi. Ide sanksi negara yang didasarkan pada
beberapa asumsi.
Pertama adalah anggapan bahwa
negara adalah entitas umumnya rasional, menunjukkan bahwa negara-negara melakukan
analisis biaya-manfaat di dalam negeri dan mereka, yang relevan dengan diskusi
kita, affairs.
Keduaa, sanksi ekonomi meningkatkan
biaya negara dengan memotong hubungan ekonomi dengan negara-negara lain. Oleh karena
itu, mengurangi perdagangan lintas batas.
Ketiga, karena negara tidak bisa
tetap jauh dari perdagangan internasional untuk jangka waktu yang panjang,
mereka pasti akan membatalkan perilaku yang tidak diinginkan dan melakukan
langkah-langkah yang diinginkan.
Keempat, masyarakat internasional akan
berhenti menerapkan sanksi setelah tujuan yang diinginkan tercapai.
Kelima, untuk negara-negara lain
yang tidak sesuai dengan tatanan internasional atau gangguan perdamaian sangat
mahal dan akan mengakibatkan perampasan banyak hak istimewa yang ditawarkan
oleh masyarakat dunia.
Runtuhnya dunia bipolar era Perang
Dingin membuka jalan bagi implementasi macam sanksi di era modern. Sanksi
ekonomi berubah menjadi alat yang sangat diperlukan dalam perang melawan apa
yang kemudian dikenal sebagai "negara-negara nakal." Meningkatnya
pemanfaatan sanksi ekonomi menarik perhatian ilmuwan politik serta ahli ilmu
sosial lainnya. Segera, tubuh besar literatur muncul untuk menjelaskan sanksi
ekonomi. Ini tubuh sastra berpusat pada apa yang saya sebut "paradigma
fungsi sanksi ekonomi", yang berarti mereka berusaha untuk menganalisis apakah
sanksi ekonomi "bekerja"
Pengacara dan akademisi hukum
memasuki perdebatan nanti. Salah satu alasan utama tampaknya bahwa pengenaan
sanksi ekonomi-kurang lebih-halal dalam hukum internasional saat ini. Akibatnya
sebagian besar potongan hukum telah difokuskan pada menggambarkan standar untuk
pengenaan sanksi ekonomi. Pengacara internasional menemukan cukup untuk tunduk
sanksi dengan standar jelas proporsionalitas bahwa mereka meminjam dari daerah
lain hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia internasional.
Namun, upaya intelektual dalam literatur sekitarnya sanksi ekonomi tetap jauh
tertinggal dibandingkan dengan daerah lain seperti hak asasi manusia atau hokum
perang. Topik sanksi ekonomi tetap menjadi daerah oftenneglected dalam hukum
internasional, tidak seperti disiplin ilmu lainnya seperti ilmu politik.
Dengan meningkatnya pemanfaatan
sanksi ekonomi, akademisi hukum paksa memasuki TKP. Kali ini beasiswa itu tidak
terfokus pada standar, pedoman, atau norma-norma adat yang berlaku untuk
pengenaan sanksi. Tujuan dari beasiswa baru adalah untuk menghasilkan sebuah
paradigma baru dari hukum internasional. Gerakan baru ini berpendapat bahwa
hukum internasional tidak hanya bekerja karena sanksi, tetapi juga merupakan
"hukum" karena bisa "sanksi." sanksi tidak hanya dibenarkan
dalam hukum internasional dan dihargai sebagai alat untuk penanggulangan dan
pembalasan; sanksi harus bertindak sebagai pilar utama dan kekuatan generatif untuk
hukum internasional. Teori ini tampaknya bertentangan dengan teori-teori lain
dari hukum internasional, yang dengan derajat bervariasi percaya keterlibatan.
Sebuah cepat melihat beberapa teori hukum internasional menunjukkan bahwa
hampir tidak mungkin untuk membayangkan hukum internasional tanpa keterlibatan
dalam kerangka normatif kami:
Selanjutnya, teori sanksi
memungkinkan pengacara internasional untuk bangga mempersembahkan hukum
internasional di bawah account positivistik hukum, karena dapat sanksi zalim.
Pada dasarnya mereka percaya bahwa teori sanksi adalah potongan puzzle yang
hilang dalam hukum internasional.
Sebelum menganalisis paradigma baru
ini hukum internasional, kita harus secara singkat menyentuh pada dugaan
hubungan antara sanksi dan demokratisasi. Dalam kasus di mana negara target
rezim otokratis, teori sanksi menyatakan bahwa tekanan ekonomi pada orang-orang
biasa menghasilkan ketidakpuasan yang luas dan akhirnya pemberontakan. Menekan orang-orang
bawah tidak hanya memaksa negara menargetkan untuk mengubah arah tetapi juga
membuka jalan bagi akuntabilitas internal lainnya di negara itu.
E.
Sejarah
Sanksi Ekonomi dalam Hukum Internasional
Kisah sukses sanksi yang dikenakan
pada Afrika Selatan (1961-1994), Yugoslavia (1991-1998), dan Libya (1992-1999)
dipandang dengan skeptis oleh beberapa academics.This tidak harus datang
sebagai kejutan, sebagai faktor yang terlibat dalam perubahan sosial dan
politik yang sangat kompleks. Masih hampir tidak mungkin untuk mengukur sejauh
mana pengambil keputusan dari negara yang ditargetkan memilih untuk mengubah
arah karena boikot ekonomi. Bahkan, negara-negara dapat mencari rute alternatif
untuk menerima pasokan mereka diperlukan menggunakan metode lain, meskipun lebih
mahal. Selanjutnya, negara-negara target harus kurang peduli dengan
mempertahankan keunggulan kompetitif mereka jika hubungan mereka dipotong
dengan perdagangan internasional. Perdagangan internasional tidak hanya
memberikan manfaat pada negara-negara yang berpartisipasi tetapi menciptakan lingkungan
yang kompetitif yang keras di mana menyatakan mencoba untuk lebih melakukan
satu sama lain.
Hal ini tidak jelas apakah mendapatkan
kembali hubungan dengan ekonomi internasional menciptakan insentif bagi
negara-negara untuk mengubah arah. Teori sanksi ini didasarkan pada biner
sangat dipertanyakan isolasi / masyarakat, percaya menjadi bagian dari komunitas
hanya memberikan manfaat.
Selain itu, hubungan antara
demokrasi dan sanksi bertumpu pada alasan dangkal. Pertama dan terpenting,
tekanan ekonomi akan memperlemah kelas menengah yang dianggap kekuatan untuk
perubahan democratization.
Kedua, tekanan ekonomi penutup
mulut rute biasa melakukan bisnis sementara membuka jalan bagi pemerintah dan
militer menjadi aktor tunggal di sektor bisnis. Hal ini menyebabkan memperkuat
kamp militer negara ditargetkan yang biasanya kekuatan mendorong terhadap
demokratisasi.
Terakhir, ancaman eksternal dalam
bentuk sanksi akan terus dipanggil dan dimanfaatkan oleh negara-negara yang
ditargetkan untuk menindas oposisi. Tujuan dari bagian ini, bagaimanapun, tidak
untuk tetap pada konteks yang sama berdebat melawan atau kemanjuran sanksi
ekonomi. Tujuannya adalah untuk menganalisis teori sanksi ekonomi pada sikap
normatif. Sanksi paradigma menderita paradoks dasar. Sebagaimana dibahas dalam
bagian sebelumnya, teori sanksi bersandar pada anggapan bahwa negara-negara
yang ditargetkan adalah rasional, melakukan analisis biaya-manfaat. Namun,
paradoks terletak pada langkah sebelum pengenaan sanksi. Ancaman keamanan yang
disebut "negara-negara nakal" biasanya dijelaskan, secara implisit
atau eksplisit, dalam hal perilaku irasional.
Misalnya, dalam kasus Irak,
pemimpin gila dengan kemampuan militer yang tinggi menimbulkan ancaman keamanan
serius bagi masyarakat dunia. Atau, akses dari fundamentalis irasional Iran
untuk persenjataan nuklir menciptakan ancaman kelangsungan hidup bagi
negara-negara tetangga dan, yang paling penting, Eropa. Sebuah survei singkat
dari ancaman keamanan diceritakan setelah Perang Dingin menunjukkan bahwa
mayoritas telah berdasarkan sebagian atau seluruhnya pada potensi perilaku
irasional pemimpin atau negara tertentu. Sejak saat itu, paradoks sanksi
terletak pada kenyataan bahwa obat untuk perilaku tersebut didasarkan pada
mungkin reaksi rasional pelaku diduga irasional yang sama.
Sanksi paradigma tetap bertentangan
dengan perkembangan dan paradigma yang menggambarkan dunia di mana kita hidup.
Paradigma liberalis telah dihargai elemen ekonomi sebagai faktor untuk
mengurangi konflik bersenjata lintas batas. Keterlibatan ekonomi antara
negara-negara yang sangat menurun pilihan konflik bersenjata sebagai metode
untuk resolusi perselisihan. Hubungan ekonomi konstan mendorong metode
alternatif dan damai untuk menyelesaikan konflik potensial antara negara-negara.
Selanjutnya, hubungan ekonomi
terpadu antara negara-negara pasti menaikkan biaya menggunakan kekerasan dan
kekerasan untuk menyelesaikan disputes.This deskripsi singkat dari resep
liberalis untuk menghindari konflik menunjukkan bahwa sanksi paradigma ekonomi
tetap di kontras dengan itu. Memboikot bangsa dengan memotong hubungan ekonomi
dengan negara-negara lain dan bahkan tingkatkan incentivizes beralih ke
penggunaan kekuatan untuk sengketa. Dalam banyak contoh sanksi ekonomi, seperti
Irak dan Yugoslavia, konflik akhirnya diselesaikan secara militer. Dengan
menutup jalan ekonomi, akses dari negara yang ditargetkan ke lembaga peradilan
internasional menjadi sangat dibatasi Nah, suatu hal yang membuat pertempuran
militer sebagai satu-satunya pilihan di atas meja.
Penjelasan realis 'kerjasama di
tingkat internasional juga bertentangan dengan tempat teori sanksi. Realisme,
pendekatan klasik dalam hubungan internasional, telah lama bergulat dengan
topik kerjasama dalam pengaturan internasional. Penyewa dasar realisme-yang
dapat dijelaskan secara singkat sebagai survival of the fittest-bisa tidak
menjelaskan keberadaan kerjasama dalam hubungan internasional. Dengan bantuan
permainan teori, para ulama realis mempertahankan berulang dan jangka panjang
interaksi antar bangsa yang bermusuhan memupuk kerjasama. Dalam dunia tanpa
otoritas pusat, kerjasama muncul dari rasional "tit-for-tat" logika
diciptakan dari paparan jangka panjang dan interaksi negara. Namun, teori
sanksi mengabaikan argumen dasar ini riil politik. Sebaliknya, teori sanksi
mendorong negara-negara untuk memboikot zalim untuk insentif negara ditargetkan
untuk "bergabung dengan komunitas dunia." Namun, setelah paradigma
realisme, memboikot disincentivizes negara terisolasi untuk membalas dalam
"tit-for-tat" permainan dan karena itu, kemungkinan bergabung dengan
masyarakat dunia eviscerates. Akibatnya, outcasting negara membuka jalan bagi
negara yang terisolasi untuk tetap dalam, tahap precooperative anarkis,
berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup melalui kekuatan.
Yang cukup menarik, teori sanksi
tampaknya tidak sejalan dengan paradigma ideasional konstruktivisme. Helai
beragam dan agak kongruen di konstruktivisme membuat sulit untuk memiliki
pandangan yang jelas tentang paradigma ini. Namun, gerakan konstruktivis
menekankan aspek ideasional, sosial, serta normatif, dari pengaturan
internasional.
Paradigma ini berusaha untuk
menunjukkan pentingnya non-fisik elemen, ditekankan dalam realisme, dalam
membentuk dunia di mana kita hidup. Sekali lagi, Teori sanksi tampaknya tidak
menjadi setara dengan konstruktivisme. Isolasi dari masyarakat internasional
tidak sedikit bantuan untuk sosialisasi negara yang ditargetkan. Kolaborasi
yang lebih rendah dan interaksi dengan masyarakat internasional mencegah negara
dari pemahaman, berpartisipasi, dan berbagi sama norma, nilai-nilai, dan
ide-ide dari dunia community.
Masih sulit untuk konsep teori
sanksi di bawah paradigma yang kuat dan koheren, baik itu liberalisme, realisme,
atau constructivism. Selanjutnya, sulit untuk membayangkan bahwa pengecoran
ekonomi keluar akan menggantikan penggunaan kekerasan atau meminimalkan risiko
itu .
` Sebaliknya,
sanksi ekonomi memfasilitasi dan insentif konfrontasi militer antara
negara-negara. Interaksi yang lebih rendah, integrasi ekonomi yang lebih
rendah, dan sosialisasi yang lebih rendah antara negara-negara mempromosikan
konfrontasi militer sebagai gantinya. Sebuah dunia hukuman belum tentu dunia
yang lebih aman atau lebih damai. Sebaliknya, itu adalah melalui kerjasama yang
damai antara negara-negara dapat dicapai.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
Sanksi ekonomi dalam hukum internasional merupakan
kesenjangan yang terjadi di masyarakat. sanksi ekonomi adalah hukuman yang akan
diberikan kepada satu Negara jika tidak dapat memenuhi perjanjian
internasional. Sanksi ekonomi dapat berupa fasilitas dan insentif konfrontasi
militer antara negara-negara. Interaksi yang lebih rendah, integrasi ekonomi
yang lebih rendah, dan sosialisasi yang lebih rendah antara negara-negara
mempromosikan konfrontasi militer sebagai gantinya.
Adapu cara-cara penyelesaian sengketa sanksi ekonomi
dengan cara damai, yaitu:
1.
Negoisasi
Negosiasi adalah cara
penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat
manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara
yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi
ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.
Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi
prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada
kesepakatan atau konsensus para pihak
Negosiasi dapat
dilangsungkan melalui saluran-saluran diplomatik pada konperensi-konperensi
internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
2.
Pencarian Fakta (fact finding)
Metode penyelesaian
sengketa ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara
mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua
bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan.
3.
Good Offices (Jasa-jasa Baik)
Jasa-jasa baik adalah
suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak bantuan pihak yang ketiga. Pihak
ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negoisasi.
Fungsi dari jasa-jasa baik yang paling utama adalah memperemukan para pihak
agar mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegoisasi atau dikenal dengan
nama fasilisator.
Keikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian
sengketa dapat dua macam yaitu atas permintaan para pihak atau inisiatif pihak
ketiga sendiri yang menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaiakan sengketa.
Dalam kedua cara ini, syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para
pihak.
Sedangkan, jika
penyelesaian secara damai tidak berhasil memecahkan masalah sanksi ekonomi,
maka dilakukan dengan cara kekerasan, yaitu:
1.
Perang dan Tindakan bersenjata Non perang
Keseluruhan tujuan
perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan mebebankan syarat-syarat
penyelesaiaan diamana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternative
lain selain mematuhinya.
2.
Retorsi (retorsion)
Retorsi adalah istilah
teknik pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan yang
tidak pantas aatau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut
dilakuakna dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat didalam
konferensi negara yang kehormatannya dihina.
3.
Tindakan-tindakan Pembalasan (Repraisals)
Pembalasan adalah
tindakan yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti
rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang besifat
pembalasan. Saat ini praktek pembalasan hanya dibenarkan, apabila negara yang
dituju oleh pembalasan ini bersalah melakukan tindakan yang sifatnya merupakan
pelanggaran internasional. Contoh nyata tindkan pembalsan, misalnya pengusiran
orang-orang hungaria dari Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas
dendam dari pembunuhan raja Alexander dari yugoslavia.
4.
Blokade Secara Damai
(pacific Blokade)
Blokade
secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan secara damai. Kadang-kadang
dilakukan sebagi suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk
memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk mentaati permintaan ganti rugi
kerugian yang diderita oleh negara untuk meblokade.
Ada beberapa manfaat nyata
dalam pengunaan blokade damai. Tindakan ini merupakan cara yang jauh dari
kekerasan dibanding dengan perang dan blokade yang sifatnya fleksibel.
BAB
IV
PENUTUP
Sanksi ekonomi dalam
hokum internasional merupakan suatu cara yang unik untuk membuat Negara lain
tunduk dengan Negara yang memilikinya. Sanksi ekonomi adalah hukuman untuk
bangsa lain yang mengingkari perjanjian internasional khususnya dalam bidang
ekonomi. Negara yang tidak mau kena sanksi ekonomi dapat bertukar pilihan,
misalnya Negara A dapat sanksi ekonomi dari Negara B, jadi Negara A harus menjalani
apa pun sanksi ekonomi yang telah ditentukan Negara B. Tetapi Negara B,
memberikan pilihan, mau menjalani sanksi, atau bertukar senjata militer (atau
apa pun yang diinginkan Negara B).
Dalam menyelesaikan
masalah dalam sanksi ekonomi ini, ada dua macam cara yaitu dengan cara damai
atau dengan cara kekerasan. Cara damai yaitu dengan cara negoisasi, pencarian
fakta dan penerimaan jasa. Sedangkan dengan cara kekerasan yaitu, perang,
retorsi dan tindakan-tindakan pembalasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jurnal Frashad Ghodoosi, “The Sanctions Theory, A Frail Paradigm For International Law”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar