Kajian Kelahiran Civic Education
di Berbagai Negara
A. Pendahuluan
Kajian lahirnya civic education di berbagai negara memiliki tujuan mencari,
mengorganisasikan, mempelajari, menyajikan, dan mengevaluasi (SOLPE)
perkembangan civic education, sehingga pada jayanya nanti dapat dijadikan
kajian untuk paradigma civic education di Indonesia. Untuk memulai kajian ini,
tentunya kita harus mengetahui latar belakang perlunya mengkaji yaitu seperti
yang dikemukakan oleh Cogan (1998:11) yang dikutip oleh Winataputra dan
Budimansyah (2007), rekomendasi studi civic education dinyatakan bahwa : ”...future educational policy must be
based upon a conception of what we describe as multidimentional citizenship”,
dengan segala implikasinya terhadap semua aspek pendidikan.
Dari visi ”Asian
Educator Leader” (Lee;1999) dikutip dari Civic Education (Winataputra dan Budimansyah, 2007 :3) pendidikan
kewarganegaraan dalam era globalisasi perlu diarahkan pada pengembangan
kualitas warga Negara yang mencakup “spiritual
development, sense of individual responsibility, and reflective and autonomous
personality”, yang seyogyanya mengembangkan visi “globalization, localization, and individualization for multiple
intelligence”. Visi tersebut pada dasarnya terpusat pada pengembangan “learning intelligence” dalam
dimensi-dimensi “social, cultural,
political, economic, and technological intellegences”, sebagaimana dikenal
secara utuh dalam “Pentagon theory of
contextualized Multiple Intellegence” (Cheng, 1999:7).
Kajian civic education
di berbagai Negara menunjukkan pada visi yang hampir sama, namun kita perlu
melihat latar belakang dan cara pencapaian tujuan tersebut dengan kontekstual
Negara mereka.
B. Kelahiran Civic Education di berbagai Negara
Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki paradigma civic education dan citizenship education, dimana dalam kenyataannya memang tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan pemikiran tentang “social studies/social studies education”.USA menempatkan Citizenship Education sebagai esensi “social studies” seperti tampak dalam
rumusan misinya, yakni “to promote civic
competence”, dan tujuan “to help
yaoung people develop the ability to make informed and reasoned decisions for
the publicgood as citizens of a culturally diverse, democratic society, in an
interdependent world”. Upaya membangun kompetensi warga Negara (civic
competence), dan membantu para siswa/pemuda mengembangkan kemampuan mengambil
keputusan yang jernih dan bernalar untuk kepentingan umum sebagai warga negara
dalam masyarakat yang berbhineka dan mendunia. Program pendidikan tersebut memiliki saling
keterkaitan konseptual. Citizenship education atau education for citizenship merupakan istilah generic yang mencakup
pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di
lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi
kemasyarakatan, dan dalam media.
Untuk pendidikan anak usia sekolah ditegaskan oleh
Butts (1988) jika para siswa diharapkan untuk memenuhi kewajiban dan haknya
sebagai warga Negara, “…they must develop
the ability to make careful judgements based on historical perspectives; a
meaningful perspectives, and a meaningful conception on the basic democratic
values underlying citizenship in or constitutional order”.
Di USA sejak abad ke-18 menjadikan ”civic education” sebagai wahana proses
Amerikanisasi dan pendidikan demokrasi melalui ”social studies” yang memiliki perkembangan historis-pedagogis dan
historis epistemologis dengan tiga tradisi pedagogis yakni ”citizenship transmission” sebagai social science maksudnya para siswa
perlu mendapatkan pengetahuan sebagai ”self-evident
truth” atau kebenaran yang diyakini sendiri. Karena itu
tugas guru menurut tradisi ini adalah menyampaikan pengetahuan yang telah
diyakini kebenarannya itu. Dengan cara ini kelangsungan hidup masyarakat
diyakini dapat dipertahankan. Dan reflective inquiry yang pada dasarnya
menekankan pada upaya melatih siswa agar dapat mengambil keputusan dalam
konteks sosial politik atas asumsi bahwa demokrasi selalu menuntut warga negara
untuk turut serta secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Mengingat
pentingnya dalam pengembangan warganegara, diyakini perlunya “civic
education”diajarkan di sekolah dengan alasan bahwa :”…the citizens need a deeper understanding of the American political system
than is currently commonplace, both as a framework for judgment and as a common ground for public discussion”(Quigley,dkk,1991:4)-
warganegara memerlukan pengertian yang lebih mendalam daripada kenyataan yang
ada mengenai sistem politik Amerika baik sebagai kerangka berpikir dalam
mengambil keputusan maupun sebagai landasan dalam diskusi umum. Dalam konteks ini peranan dan tanggungjawab
sekolah adalah dalam “…fostering civic virtue and a sense of
citizenship” dan membantu para siswa “… to see the relevance of a civic
dimension for their lives”(Quigley,dkk,1991:5)- memperkuat kebajikan
warganegara dan kesadaran sebagai warganegara dan membantu siswa untuk melihat
kesesuaiannya dari aspek kewarganegaraan dalam kehidupannya.
United Kingdom (UK)
UK, baru benar-benar memikirkan pentingnya pendidikan
demokrasi secara sistemik pada tahun 1996 untuk warganegaranya, dan menjadi
negara pertama asal imigran yang membangun Amerika Serikat dan mengembangkan
pemikiran ”civic Education” disana. Di UK ”citizenship education” mendapat
perhatian sebagai pendidikan demokrasi pada 19 November 1997 (QCA, 1998:4)
dengan menghasilkan sebuah dokumen yang dijadikan master ideas dan basic
paradigm yaitu ”educational for
citizenship and the teaching of Democracy in schools” berfungsi sebagai
rujukan dan rambu-rambu pengembangan dan pelaksanaan “citizenship education”.
Dalam
dokumen tersebut citizenship diartikan sebagai keterlibatan dalam kegiatan public
oleh warga negara yang memiliki hak untuk itu, termasuk debat publik dan secara
langsung atau tidak langsung, dalam pembuatan hukum dan keputusan negara. Maka
yang dimaksud dengan warga Negara adalah “a
highly educated citizen democracy” atau warga Negara demokratis yang terdidik, seperti yang
ditegaskan oleh the Lord Chancellor bahwa “we should not, must not, dare not, be
complacent about the health of and the future of British democracy. Unless we
become a nation of engaged citizens, our democracy is not secure” (QCA,
1998:8). Tidaklah mungkin dicapai suatu demokrasi Inggris yang sehat dan
prospektif, kecuali dikembangkannya
Inggris sebagai bangsa yang memiliki keterlibatan warganegara yang penuh. Oleh
karena itu ditegaskan bahwa “Citizenship
education must be education for citizenship”- pendidikan kewarganegaraan
haruslah menjadi pendidikan untuk membangun jati diri kewarganegaraan; dengan
pusat perhatian pada tiga “strands”
atau garapan, yakni “social and moral
responsibility, community involvement and political literacy”- atau pengembangan
tanggung jawab sosial dan moral, perlibatan kemasyarakatan, dan
kemelekpolitikan.
Bagi
para siswa diyakini akan dapat memberdayakan mereka untuk berpartisipsi secara
efektif dalam masyarakat sebagai “...active,
informed, critical and responsible citizens.” Di lain pihak bagi guru akan
dapat memfasilitasi mereka untuk menjadikan “citizenship
education” yang benar-benar “coherent” secara intelektual maupun secara kurikuler
dalam konteks “citizenship education”
di sekolah. Sementara itu, bagi sekolah diyakini akan menjadi dasar yang kuat
untuk mengkoordinasikan proses pembelajaran dalam kaitannya dengan kegiatan
dalam masyarakat lokal sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari pengembangan “citizenship
education” untuk para siswa di
sekolah itu. Sedangkan untuk masyarakat, diyakini bahwa warganegara yang aktif
dan melek politik akan dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap kegiatan pemerintahan dan masyarakat dalam
berbagai tingkatan. Pada akhirnya juga diyakini bahwa “...a citizenship education
which encouraged a more interactive role between schools, local
communities, and youth organisations could help to make local government
more democratic, open and responsive.”
Pendidikan
kewarganegaraan adalah pendidikan untuk
kewarganegaraan, karena itu bukanlah hanya menekankan pada pengetahuan
kewarganegaraan dan masyarakat kewargaan, tetapi juga pada pengembangan nilai,
keterampilan, dan pengertian.
Jatidiri
“citizenship education” model UK yang di dalam perspektif internasional
(Kerr:1999) termasuk model “thick
citizenship education” yang memiliki visi maksimum yakni “education
FOR citizenship” dengan modus “across curriculum”.
Canada
Di
Kanada kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social studies and also history, law,
political sciences, and economics, yang memuat misi pendidikan
kewarganegaraan yang demokratis pada
pendidikan dasar dan menengah dilandasi dengan prinsip atau non-statutory atau tidak digariskan
secara formal, yang diorganisasikan secara terpadu atau Integrated dalam mata pelajaran lain yang relevan.
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam
mata pelajaran Social Studies.
Kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas dalam bentuk
program terintegtrasi. Beban belajar per minggu tidak diatur, artinya
diserahkan kepada masing-masing sekolah.
France
Di Perancis kerangka dasar kurikulum dan beban belajar
mata pelajaran atau materi Civics yang
dikaitkan dengan history and geography untuk pendidikan dasar dan menengah dilandasi dengan prinsip statutory core atau digariskan secara
formal, yang diorganisasikan secara
terpisah atau Separate dan terpadu
atau Integrated dengan beban belajar
3 sampai 4 jam pelajaran, diluar 26 jam pelajaran wajib.
Materi kewarganegaraan disebut Civics yang merupakan bagian dari mata pelajaran Discovering the World (Menyingkap
Dunia). Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai
inti atau terintegrasi.
German
Di
Jerman kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social studies, dengan inti pengembangan
kewarganegaraan yang demokratis yang dikaitkan dengan history, geography and economics, untuk pendidikan dasar dan
menengah ditandai dengan prinsip Non-statutory
atau tidak digariskan secara formal, yang diorganisasikan secara integrated atau terpadu.
Untuk
bahan kajian atau mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan digunakan istilah Sachunterricht. Kedudukan
dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi dalam
mata pelajaran lain, atau bersifat lintas kurikulum. Beban belajar per minggi
tidak diatur, atau diserahkan kepada masing-masing sekolah.
Hongaria
Di Hongaria kerangka dasar kurikulum dan beban belajar
mata pelajaran People and society with
specific social studies, civics and economic courses, yang semuanya
bermuatan pendidikan kewarganegaraan, untuk pendidikan dasar dan menengah,
dilandasi dengan prinsip Statutor atau
digariskan secara formal, yang pembelajarannya diorganisasikan sebagai core integrated and specific atau khusus terintegrasi sebagai materi inti
atau dengan beban belajar 10 sampai 14 % dari total waktu pembelajaran wajib.
Untuk
bahan kajian pendidikan kewarganegaraan digunakan istilah People and Society. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang
dikemas sebagai materi inti yang
terintegrasi dalam mata pelajaran lain , artinya bersifat lintas kurikulum.
Beban belajar per minggu sekitar 4-7% dari waktu yang tersedia.
Belanda (Netherland)
Di
Negeri Belanda kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Civics and Citizenship and social studies
dilandasi dengan prinsip statutory core
atau materi inti yang digariskan secara formal, jadi bersifat wajib, yang
diorganisasikan secara Integrated atau terpadu dengan beban belajar 180 jam
pelajaran, selama 3 tahun untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama(
usia 12-15); dan untuk sekolah menengajh (usia 16-18).
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan digunakan
tercakup dalam mata pelajaran Social Structure and Life Skills
(Struktur Sosial dan Kecakapan Hidup). Kedudukan dalam program pendidikan
bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi. Beban belajar
sebesar 80-100 jam per tahun.
Spanyol
Di
Spanyol kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Civics yang dikaitkan dengan history, geography and social sciences
dilandasi dengan prinsip Non-statutory
tidak digariskan secara resmi, yang diorganisasikan secara Separate atau terpisah atau atau terpadu atau, dengan beban belajar
3 jam pelajaran per minggu.
Materi
pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam Knowledge
of Natural, Social, and Cultural Environment (Pengetahuan tentang
Lingkungan Alam, Sosial, dan Budaya). Kedudukan dalam program
pendidikan bersifat tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi. Beban belajar
sebesar 170 jam per tahun yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing
sekolah.
Swedia
Di
Swedia kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social sciences yang mencakup mata
pelajaran history, geography, and social
studies, dilandasi dengan prinsip Non-core
atau bukan sebagai materi kurikulum inti, yang diorganisasikan secara Integrated atau terpadu, dengan beban
belajar 885 jam pelajaran selama 9 tahun wajib belajar di Swedia.
Untuk
bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam mata pelajaran Social Sciences (Ilmu-Ilmu Sosial).Kedudukan
dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi walaupun
tidak sebagai materi inti. Beban belajar secara keseluruhan sekirat 885 jam selama
wajib belajar 9 tahun yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing
sekolah.
Italy
Di
Italia kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Civics yang dikaitkan dengan history and geography untuk pendidikan
dasar dan menengah, dilandasi dengan prinsip statutory core atau diwajibkan sebagai materi inti, yang
diorganisasikan secara Separate atau terpisah dan integrated atau terpadu,
dengan beban bealajar 4 jam per minggu.
Bahan
kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam mata pelajaran Social Sciences (Ilmu-ilmu Sosial).
Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai inti
yang terintegrasi. Beban belajar per minggi diserahkan kepada masing-masing
sekolah.
Belgia
Di
Belgia (EDC,2000:6-7) situs kewarganegaraan dikembangkan dalam bentuk suatu
program “One-day Parliament” yang dirancang untuk melibatkan para
pemuda dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat disumbangkan ke dalam proses politik dan kelembagaan politik. Parlemen
tersebut terdiri atas 88 orang dengan
usia antara 17-23 tahun, berasal dari berbagai latar belakang sosial. Program
tersebut dibiayai oleh P&V Insurance.
Tugas dari “One-day Parliament”
tersebut adalah menyeleksi 11 proyek yang tersebar di seluruh Belgia yang mendapat dana hibah, dan sekaligus
memonitor pelaksanaannya. Tujuan
dari proyek ini adalah “…to encourage
people to do something about the problems of social exclusion”.
Hasilnya
dilaporkan bahwa “…a prolonged immersion
in an environment of self-management and self-education influenced the young
people’s attitudes and behaviour”, yakni keterlibatan bersama dalam
suatu lingkungan yang dikelola secara mandiri dan dengan iklim pendidikan
mandiri memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan prilaku
para pemuda.
Swiss
Di Swiss kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata
pelajaran Social studies bersifat tidak tigariskan secara formal atau Non-statutory, yang dorganisasikan secara
terpadu atau Integrated.
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam
mata pelajaran Social Studies (Ilmu
Pengetahuan Sosial). Kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang
dikemas secara terintegrasi walaupun tidak sebagai materi inti. Beban belajar
pengaturannya diserahkan kepada masing-masing sekolah.
Bulgaria
Di
Bulgaria (EDC,2000:8-9) situs kewarganegaraan dikembangkan dalam empat kegiatan, masing-masing di Sarnista,
Rakitovo, Velingrad, dan Pazardijk, yang melibatkan pemuda berusia 15-21 yang
berasal dari komunitas-komunitas Romani
Bulgarian, Muslim Bulgarian, dan Orthodox Bulgarian.
Tujuan
dari program itu adalah “…to develop
civic and leadership skills and understanding among culturally diverse groups
of young people and adults, through workshops and seminars”.
Kroasia
Di
Kroasia (EDC,2000:14-17) situs kewarganegaraa dibangun berupa jaringan dari
lima sekolah menengah di Labin, Nasice, Varazdin, Vukovar, dan Zagreb dengan
fokus perhatian pada pendidikan kewarganegaraan yang demokratis dan hak azasi
manusia yang dimulai pada tahun 1999. Tujuan dari kelima situs tersebut adalah:” to foster student and teacher awareness
of citizens’ rights and responsibilities; to promote human rights education; to
encourage student participation in decision making at school and at community
level; to develop active citizenship through community service; to promote
intercultural links, partnerships, and
networks; and to introduce new methodologies and information technologies.”
Irlandia
Di
Irlandia (EDC,2000:22-25) situs kewarganegaraan dibangun di kota Tallagaht
yang dikenal sebagai kota dengan pertumbuhan penduduk yang cepat yang tidak
diimbangi dengan investasi sosial, ekonomi, lingkungan, dan infra struktur.
Dalam konteks itu maka dibangun program “Tallagaht
Partnership” dengan tujuan utamanya “to
get people affected by poverty and social exclusion involved in bringing about
social change”, yang melibatkan organisasi pemerintah dan swasta, dunia
usaha organisasi pemuda, lembaga pendidikan nonformal, dan masyarakat. Secara
spesifik kegiatan tersebut bertujuan “…promote understanding and respect for
human rights and responsibilities, equality, empowerment, participation and community
capacity building, and to be at all times inclusive, transparent, and
accessable”.
Moldova
Di
Moldova (EDC,2000:28-29) situs kewarganegaraan ditempatkan di Ion Creanga Pedagogical University in
Chisinau, dengan mengambil mahasiswa dan guru muda sebagai pesertanya.
Tujuan dari situs ini adalah “…to develop
an understanding of human rights and democratic citizenship education as a
disciplin in universities and as a part of the curriculum in secondary
schools”. Kegiatan di situs ini berusaha untuk mendukung partisipasi
mahasiswa dalam “…teamworking skills,
collaborative learning and active participation in their professional
development”.
Portugal
Di Portugal
(EDC,2000:30-33), situs kewarganegaraan dikembangkan di lingkungan terlantar
Lisbon yang dihuni oleh pendududk mayoritas asal Afrika yang memang mengalami
kendala dalam berintegrasi dengan masyarakat lain dan dalam melakukan
partisipasi demokrasi. Situs yang bekerjasama dengan kementrian pendidikan
mencoba memusatkan perhatian pada “the issues of social and etnic diversity and
inequality”.
Indonesia
Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai
citizenship education, secara substantive dan pedagogis didesain untuk
mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang
pendidikan.
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah
yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran
yang digunakan untuk mata pelajaran civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang
berkembang secara fluktuatif hampir empat dasa warsa (1962-1998) menunjukkan
ketidakajegan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah
terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional
kurikuler.
Ketidakajegan
konsep tersebut diantaranya seperti : Civics pada tahun 1962 yang tampil dalam
bentuk indoktrinasi politik, civics tahun 1968 sebagai unsure dari pendidikan
kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun
1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan
ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan
pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN
dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan
kajian Pendidikan Pancasila dan PKN yang tampil dalam bentuk pengajaran
konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Krisis
operasional, yang dalam banyak hal merupakan dampak dari krisis
konseptual tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku
pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena
kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada
proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua
itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio
cultural institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode
pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan
kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai
rujukan konseptual dan operasional.
Gambaran sederhana Pendidikan Kewarganegaraan
sejak tahun 1960 sampai dengan sekarang adalah :
CIVICS/KEWARGAAN NEGARA
|
SMA/SMP 62, SD 68, SMP
1969, SMA 1969
|
PENDIDIKAN
KEWARGAAN NEGARA (PKN)
|
SD 68, PPSP 73
|
PENDIDIKAN
MORAL PANCASILA (PMP)
|
SD, SMP,SMU 1975, 1984
|
PENDIDIKAN
PANCASILA
|
PT 1970-an - 2000-an
|
PENDIDIKAN
KEWIRAAN
|
PT 1960-an – 2001
|
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
|
PT 2002 – Sekarang
|
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn)
|
SD,
SMP, SMU 1994- 2002
|
PENDIDIKAN
KEWARGAAN (rintisan)
|
IAIN/STAN 2002 - sekarang
|
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN (PKn)
|
SD, SMP, SMU, PT (UU
No.20 Thn 2003 ttg SISDIKNAS)
|
Jepang
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan dapat ditelusuri, terutama
setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang
terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan, sejak periode Meiji (abad
ke-19). Periode setelah kekalahan Jepang ini merupakan titik balik yang sangat
penting bagi pendidikan di Jepang, dan mengubah orientasinya dari bersifat
militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis.
Civic education atau Pendidikan Kewarganegaraan digambarkan dalam tiga
periode : pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. PKn
diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial yang mengadopsi pemecahan
masalah. Anak-anak hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa
sengaja, dan mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial
secara sistematis.
Kedua, periode 1955-1985,
berorientasi pada pengetahuan, PKn didasarkan atas prinsip intelektualisme yang
berkembang dalam disiplin akademis. Menteri Pendidikan Jepang memisahkan
Pendidikan moral (dotoku) dari studi sosial. PKn diarahkan agar para siswa
memperoleh pengetahuan yang dianggap penting bagi bangsa Jepang. Sasarannya
untuk mengembangkan :
- pengetahuan dan pemahaman
- keterampilan berpikir dan ketetapan
- keterampilan dan kemampuan
- kemauan, minat, dan sikap warga negara.
Ketiga, periode tahun 1985-sekarang,
berorientasi pada kemampuan. Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip
hubungan timbal balik. Dalam hal ini pendidikan sekolah difokuskan untuk
mengembangkan ”kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa”, dalam arti
siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang permasalahan itu,
memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan metode yang tepat, memecahkan
masalah secara tepat, kreatif, dan memperdalam pemahamannya tentang hidup.
Pakistan
Sistem pendidikan nasional di Pakistan tidak dapat dipisahkan dari konflik
antara yang menginginkan Islam sebagai dasar dan tujuan pendidikan nasional,
dan yang menghendaki nilai-nilai sekuler dermokrasi. Dalam konferensi
pendidikan di Pakistan Fazlur Rahman sebagai utusan mentri pendidikan Pakistan,
menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam sebuah masyarakat demokratis harus
memasukkan elemen-elemen ”vokasional”, ”sosial atau politik”, ”spiritual”, dan
”fisik”. Elemen spiritual merupakan hal tertinggi karena ia
membantu ”purge men’s minds of barbarianism and turn them to humanitarian purposes”
(Dean, 2000:86).
Sebagai sebuah Negara pasca colonial, Pakistan
mengakui peran penting civic eduvation dalam pembentukkan warga Negara yang
patriotic. Secara paradoksal, sebagaimana kurikulum civic education
disekolah-sekolah pemerintah yang menekankan pembentukkan sebuah identitas
warga Negara muslim, ia juga telah menghindari transmisi nilai-nilai universal
demokrasi seperti kebebasan individu, kesetaraan jender, pemikiran kritis dan
menghormati keragaman agama dan cultural. Menurut Iftikhar Ahmad (2004:12) ada
empat aspek untuk melihat konteks perkembangan civic education di Pakistan:
Negara bangsa yang militeristik, keadaan darurat perang dingin, ekstrimisme
agama dan feodalisme. Sejarah Pakistan yang dominant silih berganti dari rejim
militer atau sipil, menyebabkan tujuan utama kurikulum civic education
disekolah-sekolah menjadi penyiapan seorang warga negara yang siap perang.
Feodalisme di Pakistan menjadi salah satu factor yang
menghalangi transmisi nilai-nilai demokrasi dalam kurikulum civic education
sehingga menjadikannya tatanan sosial feodal. Ada
kompetisi visi dalam kurikulum civic education antara agama dan Negara. Yakni
antara dua visi idiologis (teokratis dan demokratis-liberal) yang bersaing
untuk menghegemoni. Pasca serangan terorisme di Amerika Serikat pada tanggal 11
September 2001, Jendral Musharraf meluncurkan agenda reformasi liberal. Fokus
utama usulan reformasi ialah pendidikan kewarganegaraan (Ahmad, 2004:41).
Republik Rakyat Cina
Di Republik Rakyat Cina (RRC), tidak ada sebutan khusus ”pendidikan
kewarganegaraan”. PKn khas Cina terletak secara melekat (inherent) dalam bentuk
pendidikan moral. Pendidikan moral selalu berkaitan erat dengan politik di
Cina. Pendidikan moral diebut juga pendidikan politik (sixiang jiaoyu) atau
pendidikan idiologi politik. Sehingga kualitas moral bagai dua sisi mata uang
yaitu sama kualitasnya dengan kualitas idiomoral dan atau moral idiopolitik
(sixiang zhengzhi suzhi). Tiga istilah tersebut digunakan secara bertukaran
dalam literatur pendidikan Cina.
Secara etimologis di Cina pendidikan moral menjadi sesuatu yang essensial
sebagai alat sosialisasi politik, dalam mentransmisikan nilai-nilai idiologi
dan politik, tidak hanya kepada para siswa tetapi juga untuk masyarakat luas.
Pendidikan kewarganegaraan di Cina setara (ekuivalen) dengan pendidikan
idiologis dan politik pada tahun-tahun awal Pemerintahan komunis Cina. Fokus
pendidikan kewarganegaraan meningkat orientasinya kepada kualitas moral
personal pada saat sekarang, meskipun elemen-elemen politik selalu hadir dalam
sejarah PKn di Cina. Dengan demikian hubungan antara PKn dan pendidikan moral
adalah suatu kontinum di Cina, dimana pada periode awal lebih pada PKn dan
tetapi pada saat sekarang lebih kepada pendidikan moral, dan tidak ada batas waktu
antara satu dengan lainnya (Lee, 2006: 5).
Hongkong
Pendidikan Kewarganegaraan di Hongkong tidak dapat dilepaskan dari beberapa
hal berikut ini, pertama, sebagai bekas ”negara kota” jajahan Inggris, Hongkong
mengalami satu pergeseran identitas politik dari wilayah koloni menjadi
kesatuan wilayah berdaulat dibawah pemerintahan Cina daratan. Kedua, perubahan
identitas politik mempengaruhi sistem politik yang pada masa kolonial Inggris,
Hongkong begitu kuat ditanamkan arti penting prinsip-prinsip pemerintahan
demokrasi liberal model Inggris. Namun setelah penyerahan kedaulatan Hongkong
kepada Cina, maka berdampak pada proses politik yang mengikuti budaya politik
Cina yang dominan dipengaruhi Konfusianisme.
Civics Education yang diajarkan disekolah pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1950. Pada tahun 1952, kajian civics bersama geografi dan sejarah
membentuk mata pelajaran baru yang disebut social studies di dalam kurikulum
sekolah dasar. Di SMP civics diajarkan secara terpisah sehingga
diganti oleh pelajaran economic and publics affairs pada tahun 1965. Pada tahun
1980an silabus EPA direvisi dengan tekanan pada “individual and society” dan
“enhancement of political awareness”. Pada 1993, badan sekretariat kependidikan
Hongkong menyatakan bahwa civics education di Hongkong adalah “school shoul
help students to become aware of Hongkong as a society; to develop a sense of
civic duty, responsibility to the family and service to the community; and to
exercise tolerance in interacting with others”.
Dunia Muslim (Iran, Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljazair,
dan Mesir)
Disejumlah negara Islam, yakni Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljajair dan
Mesir, John L. Esposito dan Johns O. Voll, mengadakan studi komparatif
demokrasi. Menurut temuannya (1996:11) ”Kebangkitan Islam dan demokratisasi di
dunia muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis”. Dimana terjadi
proses ”menguatnya identitas komunal dan tuntutan terhadap partisipasi politik
rakyat muncul dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin
memperkuat hubungan global, sementara pada saat yang sama identitas lokal,
nasional dan budaya lokal masih sangat kuat”. Mengenai prospek mengenai
perkembangan demokrasi di negara Muslim disimpulkan bahwa ”mengingat realitas
politik dan ekonomi yang ada di banyak masyarakat muslim, masa depan
demokratisasi masih diragukan”. Dengan kata lain negara-negara muslim memiliki
potensi secara adaftif mengembangkan proses demokratisasi secara gradual sesuai
dengan keadaan dan kebutuhannya masing-masing.
Singapura
Penduduk Singapura memiliki keragaman etnis, dengan etnis utama adalah
China, Melayu dan India. Bahasa sehari-hari adalah Malay, China, Tamil dan
Inggris. Malay dijadikan bahasa Negara dan bahasa Inggris adalah bahasa
adminitrasi. Bahasa Inggris juga dijadikan bahasa pengantar di
persekolahan. Agama terbesar di
Singapura adalah Budha, Tao, Islam, Kristen dan Hindu. Konstitusi menjamin
kebebasan beragama untuk seluruh warga Negara Singapura.
Keragaman etnik, bahasa, agama dan latar belakang sejarah memerlukan sebuah
penyikapan dari Negara dalam berbagai bentuknya. Hoy-Pick
Lim (1989:4), menyatakan :
Adult education for community development consist of three main
components, citizenship education, sosial and cultural education, and health
and environment education. It is through adult education that the government
attempts to promote a common national identity for all races, but at the same
time maintaining diversity in cultural matter. The current national slogan is
“one people, one nation, one Singapore”.
Pembentukan identitas negara Singapura ini, disikapi oleh pemerintah
Singapura sama seperti Negara lainnya di dunia yaitu dengan membentuk
pendidikan kewarganegaraan. Baik ditingkat persekolahan maupun pendidikan
kewraganegaraan bagi masyarakat umum.
Pendidikan IPS sebagai mata pelajaran wajib dan
diujikan disekolah kedua di Singapura pada tahun 2001 merefleksikan kelanjutan
tujuan dari pendidikan kewarganegaraan yang dihubungkan dengan kebutuhan
nasional. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial telah dijadikan subyek
utama dari dari Negara bagi Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Pendidikan
Nasional.
Sejak kemerdekaan, kebijakan pembangunan Singapura memilih focus dalam dua
aspek, pertama membentuk konsensus antara
etnik yang berbeda dan memperkuat pembangunan ekonomi yang didorong
modernisasi. Prioritas pertumbuhan ekonomi di persepsikan menjadi harus
didasarkan untuk kelangsungan hidup bernegara. Intervensi Negara tidak hanya
dalam mendorong pembangunan ekonomi melainkan juga guna membentuk kondisis soaial
dan dalam membangun indentitas nasional. Sejak tingginya centralisasi, dengan
ketatnya kontrol Negara terhadap system pendidikan guna membentuk persepi dan
keikutsertaan dalam masyarakat dan Negara.
C. Kesimpulan
a.
Perbandingan Jati diri
Programatik “Citizenship education” dalam kurikulum di berbagai Negara, dengan
mengikuti alternative pendekatan separate, integrated, and cross curricular
separate
|
integrated
|
Cross-curricular
|
§ Jepang
§ Korea
§ Singapura
(Untuk SD)
§ Indonesia (semua tingkat)
|
§ Australia:NSW (semua tingkat)
§ Kanada (semua tingkat)
§ Perancis (semua tingkat)
§ Jerman (semua tingkat)
§ Hongaria (semua tingkat)
§ Italia (semua tingkat)
§ Jepang (semua tingkat)
§ Negeri Belanda(semua tingkat)
§ Selandia Barru (semua tingkat)
§ Singapura (semua tingkat)
§ Spanyol (semua tingkat)
§ Swedia (semua tingkat)
§ Swiss (semua tingkat)
§ USA:Kentucky(semua tingkat)
|
|
·
Separate ,
citizenship education diajarkan sebagai suatu mata pelajaran atau suatu aspek
·
Integrated ,
citizenship education diajarkan sebagai bagian dari suatu mata pelajaran
terpadu “social sciences” atau “social studies” atau dikaitkan dengan mata
pelajaran lain
·
Cross curricular,
citizenship education tidak secara khusus sebagai suatu mata pelajaran atau
suatu topik, melainkan secara sistemik dimasukkan ke dalam tatanan kurikulum
dengan memasukannya ke dalam mata pelajaran yang ada.
b.
Sifat dan statusnya dalam kurikulum di berbagai negara
Wajib bagian dari program inti
|
Tidak wajib
|
Bukan pelajaran inti
|
§
Level SD di Perancis, hongaria, Italia, Jepang, Korea,
Negeri Belanda, Selandia Baru, Singapura, Indonesia
§
Level SLTP/SM di Perancis, Hongaria, Italia, Jepang,
Korea, Negeri Belanda, Selandia Baru, Singapura, dan USA : Kentucky
§
Semua tingkat di Indonesia
|
§ Level SD di Inggris, Australia:NSW, Kanada, Jerman, Spanyol dan Swiss
§ Level SLTP/SM di Inggris, Australia:NSW, Kanada, Jerman, Spanyol, dan
Swiss
|
§ Swedia untuk semua tingkat
|
Jati diri “citizenship education” dipengaruhi oleh
factor-faktor : “historical tradition,
geographical position, socio-political structure, economic system, and global
trends” (Kerr:1999:5-7). Studi itu juga mengidentifikasi adanya suatu
“citizenship education continuum” MINIMAL dan MAKSIMAL, studi itu
dikonseptualisasikan tiga pendekatan “citizenship education” (Kerr, 1999:15-16)
yakni :
1.
Education about citizenship (minimal) yang memusatkan perhatian pada “…providing students with sufficient knowledge and understanding of
national history and the structures and processes of government and political
life”
2.
Education Trough citizenship (tengah), yang menitik beratkan pada prinsip :” …involves student learning by doing, trough active, participative
experiences in the school or in local community and beyond”, proses belajar
seperti ini diyakini memiliki potensi untuk “…reinforces
the knowledge component”
3. Education for citizenship
(maksimal) yang mencakup kedua pendekatan (1 dan 2) yang menitik beratkan pada
proses “…equiping students with a set of
tools (knowledge and understanding, skills and attitudes, values and
dispositions) which enable them to participate actively and sensibly in the
roles and responsibilities they encounter in their adult lives”. Pendekatan
ini mengaitkan “citizenship education”
dengan “the whole education experience of
students”
Education about citizenship
|
Education Trough citizenship
|
Education for citizenship
|
§ Ditandai:didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi
tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh
isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran,
hasilnya mudah diukur
§ Negara-negara Asia Tenggara
|
§ Berada di tengah kontinum
§
Negara-negara Eropa Tengah, Selatan, dan Timur, serta
Australia
|
§
Ditandai : didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai
aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan
formal dan informal, diberi label “citizenship education”, menitikberatkan
pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam
maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar
§
Negara-negara Eropa Utara, Amerika Serikat dan Selandia
Baru
|
Daftar Pustaka
Civics And Moral Education Syllabus, Primary School. (2000) : Ministry
Of Education Singapore.
Cogan,
J.J. dan Derricott,R. (1998) Citizenship
for the 21st Century; An International Perspective on Education,London:
Kogan Page
Jasmine Boon-Yee Sim, (2005). Citizenship
Education and Social Studies in Singapore: A National Agend. www.citized.info: International Journal of
Citizenship and Teacher Education Vol.1, No. 1, July 2005.
Jasmine Boon-Yee Sim, (2005). Citizenship
Education and Social Studies in Singapore: A National Agend. www.citized.info: International Journal of
Citizenship and Teacher Education Vol.1, No. 1, July 2005.
Kerr,
D. (1999) Citizenship Education: An
International Comparison, London: Qualification and Curriculum Authority
Kerr, D. (1999) Citizenship Education: An
International Comparison, London: Qualification and Curriculum Authority
Pick Lim, Hoy. (1989). “Singaporean
Multi-Cultural Society – Opening or Obstacles For Non-Govermental Civic
Activities”. EAEA : Internet
Winataputra, Udin S & Budimansyah, Dasim. (2007). Civic Education. Bandung: Sekolah Pasca
Sarjana Program Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
Winataputra,
U.S. (2001) Jatidiri Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai Whana Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), bandung:
Program Pascasarjana UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar