Business

Minggu, 23 November 2014

Civic Education di Berbagai Negara

Kajian Kelahiran Civic Education
di Berbagai Negara

A. Pendahuluan
Kajian lahirnya civic education di berbagai negara memiliki tujuan mencari, mengorganisasikan, mempelajari, menyajikan, dan mengevaluasi (SOLPE) perkembangan civic education, sehingga pada jayanya nanti dapat dijadikan kajian untuk paradigma civic education di Indonesia. Untuk memulai kajian ini, tentunya kita harus mengetahui latar belakang perlunya mengkaji yaitu seperti yang dikemukakan oleh Cogan (1998:11) yang dikutip oleh Winataputra dan Budimansyah (2007), rekomendasi studi civic education dinyatakan bahwa : ”...future educational policy must be based upon a conception of what we describe as multidimentional citizenship”, dengan segala implikasinya terhadap semua aspek pendidikan.
Dari visi ”Asian Educator Leader” (Lee;1999) dikutip dari Civic Education (Winataputra dan Budimansyah, 2007 :3) pendidikan kewarganegaraan dalam era globalisasi perlu diarahkan pada pengembangan kualitas warga Negara yang mencakup “spiritual development, sense of individual responsibility, and reflective and autonomous personality”, yang seyogyanya mengembangkan visi “globalization, localization, and individualization for multiple intelligence”. Visi tersebut pada dasarnya terpusat pada pengembangan “learning intelligence” dalam dimensi-dimensi “social, cultural, political, economic, and technological intellegences”, sebagaimana dikenal secara utuh dalam “Pentagon theory of contextualized Multiple Intellegence” (Cheng, 1999:7).
            Kajian civic education di berbagai Negara menunjukkan pada visi yang hampir sama, namun kita perlu melihat latar belakang dan cara pencapaian tujuan tersebut dengan kontekstual Negara mereka.
B. Kelahiran Civic Education di berbagai Negara

Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki paradigma civic education dan citizenship education, dimana dalam kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran tentang “social studies/social studies education”.USA menempatkan Citizenship Education sebagai esensi “social studies” seperti tampak dalam rumusan misinya, yakni “to promote civic competence”, dan tujuan “to help yaoung people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the publicgood as citizens of a culturally diverse, democratic society, in an interdependent world”. Upaya membangun kompetensi warga Negara (civic competence), dan membantu para siswa/pemuda mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang jernih dan bernalar untuk kepentingan umum sebagai warga negara dalam masyarakat yang berbhineka dan mendunia.  Program pendidikan tersebut memiliki saling keterkaitan konseptual. Citizenship education atau education for citizenship merupakan istilah generic yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.
Untuk pendidikan anak usia sekolah ditegaskan oleh Butts (1988) jika para siswa diharapkan untuk memenuhi kewajiban dan haknya sebagai warga Negara, “…they must develop the ability to make careful judgements based on historical perspectives; a meaningful perspectives, and a meaningful conception on the basic democratic values underlying citizenship in or constitutional order”.
Di USA sejak abad ke-18 menjadikan ”civic education” sebagai wahana proses Amerikanisasi dan pendidikan demokrasi melalui ”social studies” yang memiliki perkembangan historis-pedagogis dan historis epistemologis dengan tiga tradisi pedagogis yakni ”citizenship transmission” sebagai social science maksudnya para siswa perlu mendapatkan pengetahuan sebagai ”self-evident truth” atau kebenaran yang diyakini sendiri. Karena itu tugas guru menurut tradisi ini adalah menyampaikan pengetahuan yang telah diyakini kebenarannya itu. Dengan cara ini kelangsungan hidup masyarakat diyakini dapat dipertahankan. Dan reflective inquiry yang pada dasarnya menekankan pada upaya melatih siswa agar dapat mengambil keputusan dalam konteks sosial politik atas asumsi bahwa demokrasi selalu menuntut warga negara untuk turut serta secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Mengingat pentingnya dalam pengembangan warganegara, diyakini perlunya “civic education”diajarkan di sekolah dengan alasan bahwa :”…the citizens need a deeper understanding of the American political system than is currently commonplace, both as a framework for judgment  and as a common ground for public discussion”(Quigley,dkk,1991:4)- warganegara memerlukan pengertian yang lebih mendalam daripada kenyataan yang ada mengenai sistem politik Amerika baik sebagai kerangka berpikir dalam mengambil keputusan maupun sebagai landasan dalam diskusi umum.  Dalam konteks ini peranan dan tanggungjawab sekolah  adalah dalam “…fostering civic virtue and a sense of citizenship” dan membantu para siswa “… to see the relevance of a civic dimension for their lives”(Quigley,dkk,1991:5)- memperkuat kebajikan warganegara dan kesadaran sebagai warganegara dan membantu siswa untuk melihat kesesuaiannya dari aspek kewarganegaraan dalam kehidupannya.          

United Kingdom (UK)
UK, baru benar-benar memikirkan pentingnya pendidikan demokrasi secara sistemik pada tahun 1996 untuk warganegaranya, dan menjadi negara pertama asal imigran yang membangun Amerika Serikat dan mengembangkan pemikiran ”civic Education” disana. Di UK ”citizenship education” mendapat perhatian sebagai pendidikan demokrasi pada 19 November 1997 (QCA, 1998:4) dengan menghasilkan sebuah dokumen yang dijadikan master ideas dan basic paradigm yaitu ”educational for citizenship and the teaching of Democracy in schools” berfungsi sebagai rujukan dan rambu-rambu pengembangan dan pelaksanaan “citizenship education”.
Dalam dokumen tersebut citizenship diartikan sebagai keterlibatan dalam kegiatan public oleh warga negara yang memiliki hak untuk itu, termasuk debat publik dan secara langsung atau tidak langsung, dalam pembuatan hukum dan keputusan negara. Maka yang dimaksud dengan warga Negara adalah “a highly educated citizen democracy” atau warga Negara  demokratis yang terdidik, seperti yang ditegaskan oleh  the Lord Chancellor bahwa “we should not, must not, dare not, be complacent about the health of and the future of British democracy. Unless we become a nation of engaged citizens, our democracy is not secure” (QCA, 1998:8). Tidaklah mungkin dicapai suatu demokrasi Inggris yang sehat dan prospektif, kecuali  dikembangkannya Inggris sebagai bangsa yang memiliki keterlibatan warganegara yang penuh. Oleh karena itu ditegaskan bahwa “Citizenship education must be education for citizenship”- pendidikan kewarganegaraan haruslah menjadi pendidikan untuk membangun jati diri kewarganegaraan; dengan pusat perhatian pada tiga “strands” atau garapan, yakni “social and moral responsibility, community involvement and political literacy”- atau pengembangan tanggung jawab sosial dan moral, perlibatan kemasyarakatan, dan kemelekpolitikan.
Bagi para siswa diyakini akan dapat memberdayakan mereka untuk berpartisipsi secara efektif dalam masyarakat sebagai “...active, informed, critical and responsible citizens.” Di lain pihak bagi guru akan dapat memfasilitasi mereka untuk menjadikan “citizenship education” yang benar-benar “coherent”  secara intelektual maupun secara kurikuler dalam konteks “citizenship education” di sekolah. Sementara itu, bagi sekolah diyakini akan menjadi dasar yang kuat untuk mengkoordinasikan proses pembelajaran dalam kaitannya dengan kegiatan dalam masyarakat lokal  sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan “citizenship education” untuk  para siswa di sekolah itu. Sedangkan untuk masyarakat, diyakini bahwa warganegara yang aktif dan melek politik akan dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap  kegiatan pemerintahan dan masyarakat dalam berbagai tingkatan. Pada akhirnya juga diyakini bahwa “...a citizenship education  which encouraged a more interactive role between schools, local communities, and youth organisations could help to make local government more democratic, open and responsive.”
Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan untuk  kewarganegaraan, karena itu bukanlah hanya menekankan pada pengetahuan kewarganegaraan dan masyarakat kewargaan, tetapi juga pada pengembangan nilai, keterampilan, dan pengertian.
Jatidiri “citizenship education” model UK  yang di dalam perspektif internasional (Kerr:1999) termasuk model “thick citizenship education” yang memiliki visi maksimum  yakni “education FOR citizenship” dengan modus “across  curriculum”.

Canada
Di Kanada kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social studies and also history, law, political sciences, and economics, yang memuat misi pendidikan kewarganegaraan yang demokratis  pada pendidikan dasar dan menengah dilandasi dengan prinsip atau non-statutory atau tidak digariskan secara formal, yang diorganisasikan secara terpadu atau Integrated dalam mata pelajaran lain yang relevan.
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam mata pelajaran Social Studies. Kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas dalam bentuk program terintegtrasi. Beban belajar per minggu tidak diatur, artinya diserahkan kepada masing-masing sekolah.

France
Di Perancis kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran atau materi Civics yang dikaitkan dengan history and geography untuk pendidikan dasar dan menengah dilandasi dengan prinsip statutory core atau digariskan secara formal, yang diorganisasikan secara terpisah atau Separate dan terpadu atau Integrated dengan beban belajar 3 sampai 4 jam pelajaran, diluar 26 jam pelajaran wajib.
Materi kewarganegaraan disebut Civics yang merupakan bagian dari mata pelajaran Discovering the World (Menyingkap Dunia). Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai inti atau terintegrasi.

German
Di Jerman kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social studies, dengan inti pengembangan kewarganegaraan yang demokratis yang dikaitkan dengan history, geography and economics, untuk pendidikan dasar dan menengah ditandai dengan prinsip Non-statutory atau tidak digariskan secara formal, yang diorganisasikan secara integrated atau terpadu.
Untuk bahan kajian atau mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan digunakan istilah Sachunterricht. Kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi dalam mata pelajaran lain, atau bersifat lintas kurikulum. Beban belajar per minggi tidak diatur, atau diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Hongaria
Di Hongaria kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran People and society with specific social studies, civics and economic courses, yang semuanya bermuatan pendidikan kewarganegaraan, untuk pendidikan dasar dan menengah, dilandasi dengan prinsip Statutor atau digariskan secara formal, yang pembelajarannya diorganisasikan sebagai core integrated and specific  atau khusus terintegrasi sebagai materi inti atau dengan beban belajar 10 sampai 14 % dari total waktu pembelajaran wajib.
Untuk bahan kajian pendidikan kewarganegaraan digunakan istilah People and Society. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas  sebagai materi inti yang terintegrasi dalam mata pelajaran lain , artinya bersifat lintas kurikulum. Beban belajar per minggu sekitar 4-7% dari waktu yang tersedia.

Belanda (Netherland)
Di Negeri Belanda kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Civics and Citizenship and social studies dilandasi dengan prinsip statutory core atau materi inti yang digariskan secara formal, jadi bersifat wajib, yang diorganisasikan secara Integrated atau terpadu dengan beban belajar 180 jam pelajaran, selama 3 tahun untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama( usia 12-15); dan untuk sekolah menengajh (usia 16-18).
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan digunakan tercakup dalam  mata pelajaran Social Structure and Life Skills (Struktur Sosial dan Kecakapan Hidup). Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi. Beban belajar sebesar 80-100 jam per tahun.

Spanyol
Di Spanyol kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Civics yang dikaitkan dengan history, geography and social sciences dilandasi dengan prinsip Non-statutory tidak digariskan secara resmi, yang diorganisasikan secara Separate atau terpisah atau atau terpadu atau, dengan beban belajar 3 jam pelajaran per  minggu.
Materi pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam Knowledge of Natural, Social, and Cultural Environment (Pengetahuan tentang Lingkungan Alam, Sosial, dan Budaya). Kedudukan dalam program pendidikan bersifat tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi. Beban belajar sebesar 170 jam per tahun yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Swedia
Di Swedia kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social sciences yang mencakup mata pelajaran history, geography, and social studies, dilandasi dengan prinsip Non-core atau bukan sebagai materi kurikulum inti, yang diorganisasikan secara Integrated atau terpadu, dengan beban belajar 885 jam pelajaran selama 9 tahun wajib belajar di Swedia.
Untuk bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam mata pelajaran Social Sciences (Ilmu-Ilmu Sosial).Kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi walaupun tidak sebagai materi inti. Beban belajar secara keseluruhan sekirat 885 jam selama wajib belajar 9 tahun yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Italy
Di Italia kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Civics yang dikaitkan dengan history and geography untuk pendidikan dasar dan menengah, dilandasi dengan prinsip statutory core atau diwajibkan sebagai materi inti, yang diorganisasikan secara Separate atau terpisah dan integrated atau terpadu, dengan beban bealajar 4 jam per minggu.
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam mata pelajaran Social Sciences (Ilmu-ilmu Sosial). Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai inti yang terintegrasi. Beban belajar per minggi diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Belgia
Di Belgia (EDC,2000:6-7) situs kewarganegaraan dikembangkan dalam bentuk suatu program  “One-day Parliament” yang dirancang untuk melibatkan para pemuda  dalam proses pengambilan keputusan yang dapat disumbangkan ke dalam proses politik  dan kelembagaan politik. Parlemen tersebut terdiri atas 88 orang  dengan usia antara 17-23 tahun, berasal dari berbagai latar belakang sosial. Program tersebut dibiayai oleh P&V Insurance. Tugas dari “One-day Parliament” tersebut adalah menyeleksi 11 proyek yang tersebar di seluruh Belgia  yang mendapat dana hibah, dan sekaligus memonitor pelaksanaannya. Tujuan dari proyek ini adalah “…to encourage people to do something about the problems of social exclusion”.
Hasilnya dilaporkan bahwa “…a prolonged immersion in an environment of self-management and self-education influenced the young people’s attitudes and behaviour”, yakni keterlibatan bersama dalam suatu lingkungan yang dikelola secara mandiri dan dengan iklim pendidikan mandiri memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap dan prilaku para pemuda.

Swiss
Di Swiss kerangka dasar kurikulum dan beban belajar mata pelajaran Social studies bersifat tidak tigariskan secara formal atau  Non-statutory, yang dorganisasikan secara terpadu atau Integrated.
Bahan kajian pendidikan kewarganegaraan tercakup dalam mata pelajaran Social Studies (Ilmu Pengetahuan Sosial). Kedudukan dalam program pendidikan tidak wajib yang dikemas secara terintegrasi walaupun tidak sebagai materi inti. Beban belajar pengaturannya diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Bulgaria
Di Bulgaria (EDC,2000:8-9) situs kewarganegaraan dikembangkan  dalam empat kegiatan, masing-masing di Sarnista, Rakitovo, Velingrad, dan Pazardijk, yang melibatkan pemuda berusia 15-21 yang berasal dari komunitas-komunitas  Romani Bulgarian, Muslim Bulgarian, dan Orthodox Bulgarian.
Tujuan dari program itu adalah “…to develop civic and leadership skills and understanding among culturally diverse groups of young people and adults, through workshops and seminars”.

Kroasia             
Di Kroasia (EDC,2000:14-17) situs kewarganegaraa dibangun berupa jaringan dari lima sekolah menengah di Labin, Nasice, Varazdin, Vukovar, dan Zagreb dengan fokus perhatian pada pendidikan kewarganegaraan yang demokratis dan hak azasi manusia yang dimulai pada tahun 1999. Tujuan dari kelima situs tersebut adalah:” to foster student and teacher awareness of citizens’ rights and responsibilities; to promote human rights education; to encourage student participation in decision making at school and at community level; to develop active citizenship through community service; to promote intercultural links, partnerships, and networks; and to introduce new methodologies and information technologies.”

Irlandia
Di Irlandia (EDC,2000:22-25) situs kewarganegaraan dibangun di kota Tallagaht yang dikenal sebagai kota dengan pertumbuhan penduduk yang cepat yang tidak diimbangi dengan investasi sosial, ekonomi, lingkungan, dan infra struktur. Dalam konteks itu maka dibangun program “Tallagaht Partnership” dengan tujuan utamanya “to get people affected by poverty and social exclusion involved in bringing about social change”, yang melibatkan organisasi pemerintah dan swasta, dunia usaha organisasi pemuda, lembaga pendidikan nonformal, dan masyarakat. Secara spesifik kegiatan tersebut  bertujuan “…promote understanding and respect for human rights and responsibilities, equality, empowerment, participation and community capacity building, and to be at all times inclusive, transparent, and accessable”.

Moldova
Di Moldova (EDC,2000:28-29) situs kewarganegaraan ditempatkan di Ion Creanga Pedagogical University in Chisinau, dengan mengambil mahasiswa dan guru muda sebagai pesertanya. Tujuan dari situs ini adalah “…to develop an understanding of human rights and democratic citizenship education as a disciplin in universities and as a part of the curriculum in secondary schools”. Kegiatan di situs ini berusaha untuk mendukung partisipasi mahasiswa dalam “…teamworking skills, collaborative learning and active participation in their professional development”.

Portugal
Di Portugal (EDC,2000:30-33), situs kewarganegaraan dikembangkan di lingkungan terlantar Lisbon yang dihuni oleh pendududk mayoritas asal Afrika yang memang mengalami kendala dalam berintegrasi dengan masyarakat lain dan dalam melakukan partisipasi demokrasi. Situs yang bekerjasama dengan kementrian pendidikan mencoba memusatkan perhatian pada  “the issues of social and etnic diversity and inequality”.

Indonesia
Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantive dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan.
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasa warsa (1962-1998) menunjukkan ketidakajegan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Ketidakajegan konsep tersebut diantaranya seperti : Civics pada tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik, civics tahun 1968 sebagai unsure dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969  yang tampil dalam bentuk  pengajaran konstitusi  dan ketetapan  MPRS;  PKN tahun 1973 yang diidentikkan  dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggan­tikan  PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn  1994  sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan PKN  yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati­kan  dari Pancasila dan P4. Krisis operasional,  yang  dalam banyak hal merupakan dampak dari krisis konseptual tercermin dalam  terjadinya perubahan isi dan format  buku pelajaran, penataran  guru yang tidak artikulatif, dan  fenomena kelas yang belum  banyak  bergeser dari  penekanan  pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio cultural institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Gambaran sederhana Pendidikan Kewarganegaraan sejak tahun 1960 sampai dengan sekarang adalah :
CIVICS/KEWARGAAN NEGARA
SMA/SMP 62, SD 68, SMP 1969,   SMA 1969
PENDIDIKAN KEWARGAAN NEGARA (PKN)
SD 68, PPSP 73

PENDIDIKAN MORAL PANCASILA (PMP)
SD, SMP,SMU 1975, 1984

PENDIDIKAN PANCASILA
PT 1970-an - 2000-an
PENDIDIKAN KEWIRAAN   
PT 1960-an – 2001
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN  
PT 2002 – Sekarang

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn)
SD, SMP, SMU 1994- 2002

PENDIDIKAN KEWARGAAN  (rintisan)
IAIN/STAN 2002 - sekarang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn)
SD, SMP, SMU, PT                                                  (UU No.20 Thn 2003 ttg  SISDIKNAS)

Jepang
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan, sejak periode Meiji (abad ke-19). Periode setelah kekalahan Jepang ini merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang, dan mengubah orientasinya dari bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis.
Civic education atau Pendidikan Kewarganegaraan digambarkan dalam tiga periode : pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. PKn diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial yang mengadopsi pemecahan masalah. Anak-anak hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa sengaja, dan mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial secara sistematis.
 Kedua, periode 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, PKn didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang dalam disiplin akademis. Menteri Pendidikan Jepang memisahkan Pendidikan moral (dotoku) dari studi sosial. PKn diarahkan agar para siswa memperoleh pengetahuan yang dianggap penting bagi bangsa Jepang. Sasarannya untuk mengembangkan :
  1. pengetahuan dan pemahaman
  2. keterampilan berpikir dan ketetapan
  3. keterampilan dan kemampuan
  4. kemauan, minat, dan sikap warga negara.
 Ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan. Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip hubungan timbal balik. Dalam hal ini pendidikan sekolah difokuskan untuk mengembangkan ”kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa”, dalam arti siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatif, dan memperdalam pemahamannya tentang hidup.

Pakistan
Sistem pendidikan nasional di Pakistan tidak dapat dipisahkan dari konflik antara yang menginginkan Islam sebagai dasar dan tujuan pendidikan nasional, dan yang menghendaki nilai-nilai sekuler dermokrasi. Dalam konferensi pendidikan di Pakistan Fazlur Rahman sebagai utusan mentri pendidikan Pakistan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam sebuah masyarakat demokratis harus memasukkan elemen-elemen ”vokasional”, ”sosial atau politik”, ”spiritual”, dan ”fisik”. Elemen spiritual merupakan hal tertinggi karena ia membantu ”purge men’s minds of barbarianism and turn them to humanitarian purposes” (Dean, 2000:86).
Sebagai sebuah Negara pasca colonial, Pakistan mengakui peran penting civic eduvation dalam pembentukkan warga Negara yang patriotic. Secara paradoksal, sebagaimana kurikulum civic education disekolah-sekolah pemerintah yang menekankan pembentukkan sebuah identitas warga Negara muslim, ia juga telah menghindari transmisi nilai-nilai universal demokrasi seperti kebebasan individu, kesetaraan jender, pemikiran kritis dan menghormati keragaman agama dan cultural. Menurut Iftikhar Ahmad (2004:12) ada empat aspek untuk melihat konteks perkembangan civic education di Pakistan: Negara bangsa yang militeristik, keadaan darurat perang dingin, ekstrimisme agama dan feodalisme. Sejarah Pakistan yang dominant silih berganti dari rejim militer atau sipil, menyebabkan tujuan utama kurikulum civic education disekolah-sekolah menjadi penyiapan seorang warga negara yang siap perang.
Feodalisme di Pakistan menjadi salah satu factor yang menghalangi transmisi nilai-nilai demokrasi dalam kurikulum civic education sehingga menjadikannya tatanan sosial feodal. Ada kompetisi visi dalam kurikulum civic education antara agama dan Negara. Yakni antara dua visi idiologis (teokratis dan demokratis-liberal) yang bersaing untuk menghegemoni. Pasca serangan terorisme di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, Jendral Musharraf meluncurkan agenda reformasi liberal. Fokus utama usulan reformasi ialah pendidikan kewarganegaraan (Ahmad, 2004:41).

Republik Rakyat Cina
Di Republik Rakyat Cina (RRC), tidak ada sebutan khusus ”pendidikan kewarganegaraan”. PKn khas Cina terletak secara melekat (inherent) dalam bentuk pendidikan moral. Pendidikan moral selalu berkaitan erat dengan politik di Cina. Pendidikan moral diebut juga pendidikan politik (sixiang jiaoyu) atau pendidikan idiologi politik. Sehingga kualitas moral bagai dua sisi mata uang yaitu sama kualitasnya dengan kualitas idiomoral dan atau moral idiopolitik (sixiang zhengzhi suzhi). Tiga istilah tersebut digunakan secara bertukaran dalam literatur pendidikan Cina.
Secara etimologis di Cina pendidikan moral menjadi sesuatu yang essensial sebagai alat sosialisasi politik, dalam mentransmisikan nilai-nilai idiologi dan politik, tidak hanya kepada para siswa tetapi juga untuk masyarakat luas. Pendidikan kewarganegaraan di Cina setara (ekuivalen) dengan pendidikan idiologis dan politik pada tahun-tahun awal Pemerintahan komunis Cina. Fokus pendidikan kewarganegaraan meningkat orientasinya kepada kualitas moral personal pada saat sekarang, meskipun elemen-elemen politik selalu hadir dalam sejarah PKn di Cina. Dengan demikian hubungan antara PKn dan pendidikan moral adalah suatu kontinum di Cina, dimana pada periode awal lebih pada PKn dan tetapi pada saat sekarang lebih kepada pendidikan moral, dan tidak ada batas waktu antara satu dengan lainnya (Lee, 2006: 5).

Hongkong
Pendidikan Kewarganegaraan di Hongkong tidak dapat dilepaskan dari beberapa hal berikut ini, pertama, sebagai bekas ”negara kota” jajahan Inggris, Hongkong mengalami satu pergeseran identitas politik dari wilayah koloni menjadi kesatuan wilayah berdaulat dibawah pemerintahan Cina daratan. Kedua, perubahan identitas politik mempengaruhi sistem politik yang pada masa kolonial Inggris, Hongkong begitu kuat ditanamkan arti penting prinsip-prinsip pemerintahan demokrasi liberal model Inggris. Namun setelah penyerahan kedaulatan Hongkong kepada Cina, maka berdampak pada proses politik yang mengikuti budaya politik Cina yang dominan dipengaruhi Konfusianisme.
Civics Education yang diajarkan disekolah pertama kali diperkenalkan pada tahun 1950. Pada tahun 1952, kajian civics bersama geografi dan sejarah membentuk mata pelajaran baru yang disebut social studies di dalam kurikulum sekolah dasar. Di SMP civics diajarkan secara terpisah sehingga diganti oleh pelajaran economic and publics affairs pada tahun 1965. Pada tahun 1980an silabus EPA direvisi dengan tekanan pada “individual and society” dan “enhancement of political awareness”. Pada 1993, badan sekretariat kependidikan Hongkong menyatakan bahwa civics education di Hongkong adalah “school shoul help students to become aware of Hongkong as a society; to develop a sense of civic duty, responsibility to the family and service to the community; and to exercise tolerance in interacting with others”.

Dunia Muslim (Iran, Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljazair, dan Mesir)
Disejumlah negara Islam, yakni Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljajair dan Mesir, John L. Esposito dan Johns O. Voll, mengadakan studi komparatif demokrasi. Menurut temuannya (1996:11) ”Kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis”. Dimana terjadi proses ”menguatnya identitas komunal dan tuntutan terhadap partisipasi politik rakyat muncul dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin memperkuat hubungan global, sementara pada saat yang sama identitas lokal, nasional dan budaya lokal masih sangat kuat”. Mengenai prospek mengenai perkembangan demokrasi di negara Muslim disimpulkan bahwa ”mengingat realitas politik dan ekonomi yang ada di banyak masyarakat muslim, masa depan demokratisasi masih diragukan”. Dengan kata lain negara-negara muslim memiliki potensi secara adaftif mengembangkan proses demokratisasi secara gradual sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya masing-masing.

Singapura
Penduduk Singapura memiliki keragaman etnis, dengan etnis utama adalah China, Melayu dan India. Bahasa sehari-hari adalah Malay, China, Tamil dan Inggris. Malay dijadikan bahasa Negara dan bahasa Inggris adalah bahasa adminitrasi. Bahasa Inggris juga dijadikan bahasa pengantar di persekolahan.  Agama terbesar di Singapura adalah Budha, Tao, Islam, Kristen dan Hindu. Konstitusi menjamin kebebasan beragama untuk seluruh warga Negara Singapura.
Keragaman etnik, bahasa, agama dan latar belakang sejarah memerlukan sebuah penyikapan dari Negara dalam berbagai bentuknya. Hoy-Pick Lim (1989:4), menyatakan :
Adult education for community development consist of three main components, citizenship education, sosial and cultural education, and health and environment education. It is through adult education that the government attempts to promote a common national identity for all races, but at the same time maintaining diversity in cultural matter. The current national slogan is “one people, one nation, one Singapore”.
Pembentukan identitas negara Singapura ini, disikapi oleh pemerintah Singapura sama seperti Negara lainnya di dunia yaitu dengan membentuk pendidikan kewarganegaraan. Baik ditingkat persekolahan maupun pendidikan kewraganegaraan bagi masyarakat umum.
Pendidikan IPS sebagai mata pelajaran wajib dan diujikan disekolah kedua di Singapura pada tahun 2001 merefleksikan kelanjutan tujuan dari pendidikan kewarganegaraan yang dihubungkan dengan kebutuhan nasional. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial telah dijadikan subyek utama dari dari Negara bagi Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Pendidikan Nasional.
Sejak kemerdekaan, kebijakan pembangunan Singapura memilih focus dalam dua aspek, pertama membentuk konsensus antara  etnik yang berbeda dan memperkuat pembangunan ekonomi yang didorong modernisasi. Prioritas pertumbuhan ekonomi di persepsikan menjadi harus didasarkan untuk kelangsungan hidup bernegara. Intervensi Negara tidak hanya dalam mendorong pembangunan ekonomi melainkan juga guna membentuk kondisis soaial dan dalam membangun indentitas nasional. Sejak tingginya centralisasi, dengan ketatnya kontrol Negara terhadap system pendidikan guna membentuk persepi dan keikutsertaan dalam masyarakat dan Negara.

C. Kesimpulan
a.       Perbandingan Jati diri Programatik “Citizenship education” dalam kurikulum di berbagai Negara, dengan mengikuti alternative pendekatan separate, integrated, and cross curricular
separate
integrated
Cross-curricular
§  Jepang
§  Korea
§  Singapura
(Untuk SD)
§  Indonesia (semua tingkat)
§  Australia:NSW (semua tingkat)
§  Kanada (semua tingkat)
§  Perancis (semua tingkat)
§  Jerman (semua tingkat)
§  Hongaria (semua tingkat)
§  Italia (semua tingkat)
§  Jepang (semua tingkat)
§  Negeri Belanda(semua tingkat)
§  Selandia Barru (semua tingkat)
§  Singapura (semua tingkat)
§  Spanyol (semua tingkat)
§  Swedia (semua tingkat)
§  Swiss (semua tingkat)
§  USA:Kentucky(semua tingkat)
  • Inggris

·         Separate , citizenship education diajarkan sebagai suatu mata pelajaran atau suatu aspek
·         Integrated , citizenship education diajarkan sebagai bagian dari suatu mata pelajaran terpadu “social sciences” atau “social studies” atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain
·         Cross curricular, citizenship education tidak secara khusus sebagai suatu mata pelajaran atau suatu topik, melainkan secara sistemik dimasukkan ke dalam tatanan kurikulum dengan memasukannya ke dalam mata pelajaran yang ada.
b.      Sifat dan statusnya dalam kurikulum di berbagai negara
Wajib bagian dari program inti
Tidak wajib
Bukan pelajaran inti
§  Level SD di Perancis, hongaria, Italia, Jepang, Korea, Negeri Belanda, Selandia Baru, Singapura, Indonesia
§  Level SLTP/SM di Perancis, Hongaria, Italia, Jepang, Korea, Negeri Belanda, Selandia Baru, Singapura, dan USA : Kentucky
§  Semua tingkat di Indonesia
§ Level SD di Inggris, Australia:NSW, Kanada, Jerman, Spanyol dan Swiss
§ Level SLTP/SM di Inggris, Australia:NSW, Kanada, Jerman, Spanyol, dan Swiss
§  Swedia untuk semua tingkat
Jati diri “citizenship education” dipengaruhi oleh factor-faktor : “historical tradition, geographical position, socio-political structure, economic system, and global trends” (Kerr:1999:5-7). Studi itu juga mengidentifikasi adanya suatu “citizenship education continuum” MINIMAL dan MAKSIMAL, studi itu dikonseptualisasikan tiga pendekatan “citizenship education” (Kerr, 1999:15-16) yakni :
1.      Education about citizenship (minimal) yang memusatkan perhatian pada “…providing students with sufficient knowledge and understanding of national history and the structures and processes of government and political life”
2.      Education Trough citizenship (tengah), yang menitik beratkan pada prinsip :” …involves student learning by doing, trough active, participative experiences in the school or in local community and beyond”, proses belajar seperti ini diyakini memiliki potensi untuk “…reinforces the knowledge component”
3.      Education for citizenship (maksimal) yang mencakup kedua pendekatan (1 dan 2) yang menitik beratkan pada proses “…equiping students with a set of tools (knowledge and understanding, skills and attitudes, values and dispositions) which enable them to participate actively and sensibly in the roles and responsibilities they encounter in their adult lives”. Pendekatan ini mengaitkan “citizenship education” dengan “the whole education experience of students”
Education about citizenship
Education Trough citizenship
Education for citizenship
§  Ditandai:didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur
§  Negara-negara Asia Tenggara
§  Berada di tengah kontinum
§  Negara-negara Eropa Tengah, Selatan, dan Timur, serta Australia
§  Ditandai : didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label “citizenship education”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur  karena kompleksnya hasil belajar
§  Negara-negara Eropa Utara, Amerika Serikat dan Selandia Baru



Daftar Pustaka

Civics And Moral Education Syllabus, Primary School. (2000) : Ministry Of Education Singapore.

Cogan, J.J. dan Derricott,R. (1998) Citizenship for the 21st Century; An International Perspective on Education,London: Kogan Page

Jasmine Boon-Yee Sim, (2005). Citizenship Education and Social Studies in Singapore: A National Agend. www.citized.info: International Journal of Citizenship and Teacher Education Vol.1, No. 1, July 2005.

Jasmine Boon-Yee Sim, (2005). Citizenship Education and Social Studies in Singapore: A National Agend. www.citized.info: International Journal of Citizenship and Teacher Education Vol.1, No. 1, July 2005.

Kerr, D. (1999) Citizenship Education: An International Comparison, London: Qualification and Curriculum Authority Kerr, D. (1999) Citizenship Education: An International Comparison, London: Qualification and Curriculum Authority

Pick Lim, Hoy. (1989). “Singaporean Multi-Cultural Society – Opening or Obstacles For Non-Govermental Civic Activities”. EAEA : Internet

Winataputra, Udin S & Budimansyah, Dasim. (2007). Civic Education. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana Program Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia

Winataputra, U.S. (2001) Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Whana Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), bandung: Program Pascasarjana UPI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar