Business

Minggu, 23 November 2014

Sistem Pendidikan Indonesia

SISTEM  PENDIDIKAN  INDONESIA


I.                   Pendahuluan
                  Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional masing-masing bangsa berdasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaannya. Kebudayaan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingga mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa.
                  Sistem Pendidikan Nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebu-dayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di susun sedemikian rupa, meskipun secara garis besar ada persamaan dengan Sistem Pendidikan Nasional bangsa lain sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa Indonesia yang secara geografis, demografis, historis dan kultural berciri khas.
II.                Tujuan Pembelajaran
                  Setelah membaca dan mempelajari materi pembelajaran tentang Sistem Pendidikan Indonesia, maka Anda akan dapat:
1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional.
2.      Menjelaskan macam jalur, jenjang dan jenis program Pendidikan Nasional Indonesia.
3.      Menjelaskan pengelolaan Jalur Pendidikan Sekolah dan Jalur Pendidikan Luar Sekolah.
4.      Menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan untuk pengembangan Sistem Pendidikan Nasional.
5.      Menjelaskan garis besar perkembangan aspek legal Sistem Pendidikan Nasional.
III.               Deskripsi Sajian
                  Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan di atas, maka di bawah ini disajikan materi yang meliputi:
a.      Kelembagaan, Program dan Pengelolaan Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Nasional Indonesia adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) adalah  keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri lainnya, seperti pendidikan agama oleh Menteri Agama, AKABRI oleh Menteri Hankam, juga Depar-temen lainnya menyelenggarakan pendidikan yang disebut pendidikan dan latihan (diklat).
Pembahasan akan dibatasi pada penyelenggaraan pendidikan yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui bentuk-bentuk kelembagaan beserta program-programnya, yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1.      Kelembagaan Pendidikan
Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar. Berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tertanggal 11 Juni 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, kelembagaan pendidikan dapat dilihat dari segi jalur pendidikan dan program serta pengelolaan pendidikan.
a)      Jalur Pendidikan
   Penyelenggaraan SISDIKNAS dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.


1)      Jalur Pendidikan Formal
Jalur Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sebuah lembaga – biasanya sekolah dengan melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan (bisa pendidikan anak usia dini – pendidikan dasar – pendidikan menengah – pendidikan tinggi – bisa juga pendidikan kedinasan). Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah, serta adanya keseragaman pola yang bersifat nasional.
2)      Jalur Pendidikan Nonformal
         Jalur pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakat-an yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan, seperti kepramukaan, berbagai kursus, dan lain-lain. Pendidikan nonformal memberikan kemungkinan perkembangan sosial, kultural seperti bahasan dan kesenian, keagamaan, keterampilan yang dapat dimanfa-atkan oleh anggota masyarakat untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakatnya
         Sifatnya tidak formal dalam arti tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasio nal. Modelnya sangat beragam. Dalam hubungan ini pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan dalam keluarga yang fungsi utamanya mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
3)      Jalur Pendidikan Informal
         Jalur pendidikan informal merupakan pendidikan yang bersifat dan dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
         Sifatnya tidak formal dalam arti tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasional. Modelnya sangat beragam. Dalam hubungan ini pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan informal yang diselenggarakan dalam keluarga yang fungsi utamanya menanamkan keyakinan agama, nilai budaya dan moral serta keterampilan praktis.
b)     Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (UU RI. No. 20 Tahun 2003 Bab I. Pasal 1 ayat 8).
Jalur pendidikan sekolah dilaksanakan secara berjenjang yang terdiri atas jen-jang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan dasar diselenggara-kan kelompok belajar yang disebut pendidikan anak usia dini (UU RI. No. 20/2003 Bab VI, pasal 28 ayat 1). PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
1)      Jenjang Pendidikan Dasar
         Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendi-dikan menengah, diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar.
2)      Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan, pendidikan menengah luar biasa, pendidikan menengah kedinasan dan pendidikan menengah keagamaan.
Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, dan dalam hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi memasuki lapangan kerja.
3)      Jenjang Pendidikan Tinggi
                     Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembang-kan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguru-an tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
         Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu.
Politeknik merupakan perguruan yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
Sekolah Tinggi ialah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akade-mik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu atau bidang tertentu.
         Institut ialah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menye-lenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
         Universitas adalah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
Output pendidikan tinggi diharapkan dapat mengisi kebutuhan yang beraneka ragam dalam masyarakat. Dari segi peserta didik kenyataan menunjukkan bahwa minat dan bakat mereka beranekaragam. Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka perguruan tinggi disusun dalam multi-strata.
2.      Program dan Pengelolan Pendidikan
1.      Jenis Program Pendidikan
Jenis Pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan (UU RI. No.20/2003 Bab I pasal 1 ayat 9). Program pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan pendidikan lainnya.
a)      Pendidikan Umum
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk           melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.


b)      Pendidikan Kejuruan
Merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama bekerja dalam bidang tertentu.
c)      Pendidikan Akademik
Merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
d)     Pendidikan Profesi
Merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
e)      Pendidikan Vokasi
Merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki       pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program          sarjana.
f)       Pendidikan Keagamaan
Merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiap-kan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan       tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
g)      Pendidikan Khusus
Pendidikan khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, pendidikan ini dilaksanakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
2.      Kurikulum Program Pendidikan
Konsep Sistem Pendidikan Nasional direalisir melalui kurikulum. Kurikulum memberi  bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada peserta didik. Istilah kurikulum asal mulanya dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno. Curir dalam bahasa Yunani Kuno berarti ”pelari” dan Curere artinya ”tempat berpacu”. Kurikulum kemudian dideskripsikan oleh beberapa ahli, sebagai:
-          Jarak yang harus ditempuh” oleh pelari (Nana Sudjana, 1989:4).
-          Rencana kegiatan untuk menentukan pengajaran (Macdonald, 1965)
-          Seperangkat mata pelajaran dan materi pelajaran yang terorganisir (Hyemen, 1973).
-          Rencana untuk membelajarkan peserta didik (Taba, 1962).
-          Pengalaman belajar (Krug dan Edward A., 1965).
Dalam hubungan dengan pembangunan nasional, kurikulum pendidikan nasional mengisi upaya pembentukan sumber daya manusia untuk pembangunan. Dalam kaitan ini, kurikulum mengandung dua aspek, yaitu:
a)      Kurikulum Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional dinyatakan di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 pasal pasal 3 yaitu: (a) berkembangnya potensi peserta didik, (b) manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (c) berakhlak mulia, (d) sehat, (e) berilmu, (f) cakap, (g) kreatif, (h) mandiri, dan (i) menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
         Masing-masing satuan pendidikan (menurut jalur, jenjang dan jenis) mem-punyai tugas untuk mencapai tujuan nasional tersebut, disamping tujuan institusional yang diemban oleh masing-masing satuan pendidikan. Misalnya, SMK Teknik seba-gai suatu satuan pendidikan mengemban tujuan ganda, yaitu menyiapkan tenaga teknisi yang terampil (Tujuan Institusional) dan yang sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, berakh lak mulia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tujuan Pendidikan Nasional). Jadi tujuan Pendidikan Nasional diberlakukan untuk semua satuan pendidikan, dari pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi, pendidikan formal, nonformal ataupun informal, demikian pula jenis pendidikan khusus seperti pendidikan khusus, pendidikan kedinasan, dan seterusnya.
Kaitan antara tujaun Pendidikan Nasional dengan tujuan satuan pendidikan tersebut dapat dilihat dari bagan di bawah ini:



Kurikulum menjembatani tujuan tersebut dengan praktek pengalaman belajar riil dilapangan/sekolah. menurut Soedijarto (191:145) merinci kurikulum atas lima tingkatan, yaitu:
1)      Tujuan Institusional, yang menggambarkan berbagai kemampuan (pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap) yang harus dikuasai oleh peserta didik dari suatu satuan pendidikan.
2)      Kerangka materi yang memberikan gambaran tentang bidang-bidang pelajaran yang perlu dipelajari peserta didik untuk menguasai serangkaian kemampuan serta pengetahuan, yang disebut dengan struktur program kurikulum.
3)      Garis besar materi dari suatu bidang pelajaran yang telah dipilih, biasa disebut        GBPP atau Silabi.
4)      Panduan dan buku-buku pelajaran yang disusun untuk menunjang terjadinya          proses pembelajaran (Pedoman Guru dan Buku Paket Belajar).
5)      Bentuk dan jenis kegiatan pembelajaran yang dialami oleh peserta didik, yaitu        strategi belajar mengajar.
Lima komponen kurikulum tersebut jika dilihat secara keseluruhan dapat dikelompokkan atas:
-          Tujuan Pendidikan (butir 1), - Materi Pendidikan (butir 2 s.d. 4) Dinamakan sebagai ”Kurikulum Nasional”, oleh karena tujuan dan materi pendidikan tersebut diberlakukan sama pada setiap macam satuan pendidikan di seluruh Indonesia.
-          Metodologi (butir 5). Implementasi kurikulum yang dianggap menjadi tanggung jawab guru dan Kepala Sekolah.
         Mengenai isi kurikulum nasional itu di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 pasal 36 ayat 1 dinyatakan: Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Ayat 2 menyatakan bahwa: Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Dan ayat 3 menyatakan bahwa: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1)      Peningkatan iman dan takwa;
2)      Peningkatan akhlak mulia;
3)      Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4)      Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5)      Tuntutan pembangunan daerah nasional;
6)      Tuntutan dunia kerja;
7)      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8)      Agama;
9)      Dinamika perkembangan global; dan
10)  Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Kemudian pasal 37 ayat 1, menyatakan bahwa: Isi kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1)      Pendidikan agama;
2)      Pendidikan kewarganegaraan;
3)      Bahasa;
4)      Matematika;
5)      Ilmu pengetahuan alam;
6)      Ilmu pengetahuan sosial;
7)      Seni dan budaya;
8)      Pendidikan jasmani dan olahraga;
9)      Keterampilan/kejuruan; dan
10)  Muatan lokal.
Ayat 2, menyatakan bahwa: kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
1)      pendidikan agama;
2)      pendidikan kewarganegaraan; dan
3)      bahasa;     
b)      Kurikulum Muatan Lokal
Kurikulum muatan lokal diwujudkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan Muatan Lokal Sekolah Dasar, kemudian disusul dengan penjabaran pelaksanaannya dalam keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No.173/C/Kep/M/1987 tanggal 7 Oktober 1987. Bahwa yang dimaksud dengan muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan perlu dipelajari oleh murid di daerah itu.
         Tujuan Muatan Lokal, dalam hubungannya dengan Kepentingan Nasional, maka muatan lokal memiliki tujuan sebagai berikut:
1)      Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang khas daerah.
2)      Mengubah nilai dan sikap masyarakat terhadap lingkungan ke arah yang positif.
Sedangkan dari sudut Kepentingan Peserta Didik, muatan lokal memiliki tujuan sebagai berikut:
1)      Mingkatkan pemahaman peserta didik terhadap lingkungannya (lingkungan alam, sosial dan budaya).
2)      Mengakrabkan peserta didik dengan lingkungannya sehingga mereka tidak asing   dengan lingkungannya.
3)      Menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan      masalah yang ditemukan di lingkungan sekitarnya.
4)      Memanfaatkan sumber belajar yang kaya yang terdapat di lingkungannya.
5)      Mempermudah penyerapan mereka terhadap materi pelajaran.






Daftar Istilah
Pendidikan
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sistem pendidikan nasional
Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Peserta didik
Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Jalur pendidikan
Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.


Jenjang pendidikan
Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
Jenis pendidikan
Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
Satuan pendidikan
Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
1.      Pendidikan formal; Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2.      Pendidikan nonformal; Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
3.      Pendidikan informal; Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan anak usia dini
Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.



Pendidikan jarak jauh
Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
Standar nasional pendidikan
Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wajib belajar
Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Warga Negara
Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat
Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.





IV. Paradigma Pendidikan di Indonesia
Berangkat dari jaman Presiden Soekarno, kemudian Soeharto hingga sekarang, sudah berapa kali system Pendidikan Nasional Bangsa ini berubah? Namun mengapa tidak pernah selesai. Artinya satu system akan berhasil apabila dia dituntaskan. Namun apa yang terjadi setiap kali perubahan Presiden dan Menteri maka berubah pula kebijakan tentang system pendidikan nasional ini.
Padahal system pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun
Partai Politik. Lalu sebenarnya apa yang menjadi tujuan dasar sebuah pendidikan?
Berbicara mengenai kinerja pendidikan nasional suatu negara, kiranya tidak ada yang lebih mengerikan kecuali Indonesia. Posisi kita kini tidak hanya terpuruk dalam ekonomi dan politik, tetapi dalam soal-soal yang lain pun juga mengalami kondisi yang sama, termasuk dalam soal pendidikan. Suka tidak suka, kinerja pendidikan nasional kita kini memprihatinkan. Akhir tahun 1998 lalu Bank Dunia membuat laporan pendidikan di Indonesia berjudul Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, Dalam laporan setebal 174 halaman dan terdiri tujuh bab itu, meski tidak langsung namun secara jelas menggambarkan kegagalan pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia. Tingkat partisipasi pendidikan yang rendah, angka drop-out yang tinggi, angka melanjutkan yang terbatas, prestasi belajar siswa yang rendah dan sebagainya, merupakan indikator gagalnya pendidikan nasional kita.
Apa yang ditulis Bank Dunia itu, sebenarnya amat memalukan, meski secara substantif memang banyak benarnya. Nyatanya, sampai kini tingkat partisipasi SLTP masih rendah meski wajib belajar sembilan tahun sudah dicanangkan beberapa tahun silam, angka putus sekolah masih tinggi meski kita sering berteriak "selamatkan masa depan anak-anak", dan banyak lulusan sekolah tidak bisa berbahasa internasional meski bertahun-tahun diberi pelajaran bahasa Inggris.
 Pernahkah anda berfikir untuk menyekolahkan anak anda semata-mata hanya untuk mendapat nilai 9 di Raport? Kemudian diakhir sekolah dia menjadi pengangguran? Atau tidak ada bedanya mendapat angka 5 di raport namun akhirnya menjadi seorang yang sukses dan terkenal?
Disini perlu diperhatikan tujuan kita untuk sekolah. Sekolah sebagai saran dan tempat mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang akan membuat kita mengenal, tahu, dan bisa melakukan hal-hal yang baru dengan cara yang cerdas dan efisien. Tidak sekedar membina dan mendidik para siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang akan mempertaruhkan 3 tahun pembelajaran dan jerih payah siswa. Kita menginginkan pemerintah lebih serius dan cerdas dalam memilih jenis sitem pendidikan. Jangan hanya main comot dari Negara luar yang sudah berhasil system pendidikannya. Hal ini akan berhasil apabila semua system dan prasarana yang ada sudah seperti Negara dimana system tersebut diadopsi. Jangan memaksakan suatu system sementara sarana dan prasarana belum diperbaharui. Masih banyak gedung sekolah dasar bahkan SLTP yang masih tidak layak huni. Masih banyak para pengajar kita yang sore harinya menjadi pemulung, dan malam harinya menjadi tukang ojek untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Kalau hal tersebut di atas masih terjadi bagaimana seorang Guru bisa berkonsentrasi pada apa yang akan disampaikan/diajarkan esok harinya sementara malamnya dia tidak sempat melakukan persiapan gara-gara harus ngojek. System pendidikan nasional kita sekarang ini masih mengedepankan pada pencapaian berbasis nilai bukan pada keterampilan dan competency. Sehingga kita tidak perlu bertanya dan bingung mengapa banyak sarjana yang nganggur, peserta olimpiade fisika yang tidak lulus Ujian Nasional dan banyak lagi hal-hal yang menggelikan dari sistem pendidikan ini.
Secara awam, guru disebut sebagai seseorang yang menguasai sebuah bidang ilmu pengetahuan dan berkewajiban mentransfer ilmu pengetahuan tersebut. Seorang guru adalah sesosok dengan kepribadian yang lembut, angun, santun, sopan, dan jujur (dan mungkin masih banyak lagi sifat baik lainnya). Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja budaya (cultural workers). Guru harus mempunyai kesadaran penuh bahwasanya pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus, yakni sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni dan sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.
Sumber daya pendidik, guru, menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan. Di Indonesia, guru seakan-akan menjadi satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Melihat kebutuhan semacam itu, guru harus menjadi sesosok yang mumpuni dalam menjalankan segala fungsinya. Guru tidak saja berijazah D2 ataupun S1 atau S2. Peserta didik tidak membutuhkan selembar kertas yang menyatakan guru mereka adalah lulusan dari pendidikan sarjana ataupun lainnya. Guru harus melaksanakan pendidikan yang sempurna melalui pengajaran-pengajaran yang telah direncanakan. Bagaimana pendidikan yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang guru melalui sebuah pembelajaran?
Menurut bahasa Yunani pengertian pendidikan adalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan untuk merealisasikan potensi anak. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Berdasar pada istilah tersebut, guru dalam mengajar di dalam maupun di luar kelas harus memegang teguh konsep dasar dari pendidikan tesebut karena mengajar adalah manifes nyata dari pendidikan. Guru secara profesional melaksanakan kegiatan pengajaran. Guru harus menciptakan sebuah suasana pembelajaran yang mampu membawa peserta didik mereka menjadi pribadi yang optimal dan bukan memberikan pembelajaran yang membelenggu yang hanya transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik.
Kenyataan bahwa masih banyak guru di Indonesia yang tidak memiliki dasar yang kuat akan konsep dasar dari pendidikan sehingga pola mengajar dari guru-guru tersebut terkesan hanya asal-asalan tidak dapat dipungkiri lagi. Guru hanya mengejar setoran nilai pada kepala sekolah dan dinas. Hal tersebut disebabkan karena paradigma yang salah di masyarakat Indonesia yakni keberhasilan peserta didik hanya dilihat hanya dari potensi akademik. Kondisi tersebut membawa keadaan dimana guru hanya menerapkan pembelajaran searah, pembelajaran yang memberlakukan guru sebagai subjek dan peserta didik sebagai objek. Interaksi dalam proses pembelajaran adalah interaksi atasan dan bawahan.
Tidak sedikit guru di Indonesia hanya peduli untuk memasukkan pengetahuan ke peserta didik dengan alasan mengejar nilai semata. Dengan pembelajaran yang monoton yakni ceramah dilanjutkan mencatat kemudian drill soal dan akhirnya latihan-latihan soal mendorong peserta didik menjadi sesosok yang pandai menghapal sesaat.
Banyak permasalahan yang menjadikan sesosok guru menjadi mesin nilai bagi sekolah, dinas, dan negara. Guru di Idonesia tidak menjadikan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi yang dengan penuh iklas dijalani dengan segala resiko dan kendalanya. Mereka memilih profesi guru sebagai sebuah profesi yang aman dan nyaman. Kebanyakan guru di Indonesia lebih “playing save”. Dengan menjadi guru, mereka akan dapat tunjangan hari tua (pensiun). Dengan menjadi guru, mereka dapat melakukan pekerjaan lain karena waktu mengajar sedikit. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar mengapa profesionalisme guru kadangkala dan bahkan jarang ada dalam diri seorang guru. Setelah keluar dari lingkup sekolah, guru tidak lagi berfikir bagimana perkembangan peserta didik mereka? Pendidikan hanya berhenti di dalam sekolah dan bahkan kelas.
Berangkat dari paradigma yang salah mengenai nilai, guru hanya menyampaikan, tidak ada proses dialog dalam pembelajaran. Sering kali, terjadi pembunuhan karakter terlebih pada pengajaran di tingkat dasar. Kurangnya pemahaman akan hakikat anak menjadikan sebagian guru di Indonesia membelenggu peserta didik untuk dapat mengembangkan segala potensi yang ada. Guru tidak memiliki kesadaran bahwa semua anak yang terlahir di dunia memiliki karakteristik yang berbeda sekalipun kembar siam. Hasilnya adalah pembelajaran yang menyeragamkan tanpa kecuali. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum.
Sebagiamana Freire menyatakan di dalam buku L’educazione come practica della libeazione (1969), dia menawarkan model pendidikan yang lebih dialogal, yaitu guru dan murid saling mendidik. Keduanya tidak terpaku pada buku teks, yang sudah disusun begitu tematis mengikuti kurikulum.Sebaliknya, mereka lebih diarahkan untuk mengembangkan daya nalar dan rasa serta kemampuan kreatif karsa dalam situasi apapun. Sudah saatnya, guru-guru di Indonesia memegang prinsip-prinsip tersebut. Guru juga tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Pendidikan kebudayaan mengajarkan bagaimana menghubungkan pengetahuan dengan lingkungan sekitar.
Guru Indonesia sebagian besar tidak memiliki visi yang jelas akan dibawa kemana peserta didik mereka. Visi guru telah dibuyarkan dengan nilai ekonomis dan prestise untuk mencapai hegomoni sesaat karena telah membawa peserta didiknya meraih nilai tertinggi. Bagaimana mungkin membentuk karakter peserta didik jika karakter sang guru pun tidak kuat? Guru tidak memiliki visi yang jelas kemana peserta didik meraka akan dibawa.
Satu prinsip penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan dalam proses ini dengan memberikan kesempatan siswa untuk menentukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa, anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut.
Pada dasarnya pendidikan yang membebaskan adalah situasi dimana guru dan siswa sama-sama memiliki perbedaan. Kenyataan yang ada di Indonesia, guru tidak memandang adanya perbedaan diantara peserta didik.
Seorang guru harus memiliki konsep yang kuat akan tujuan pendidikan sehingga dalam melaksanakan tugasnya guru tersebut selalu melihat apakah mereka on the right track. Setiap saat, mereka harus senantiasa melakukan self evaluation terhadap setiap langkah dalam pembelajaran yang mereka jalankan. Karakter guru yang kuat harus terbangun terlebih dahulu sebelum seseorang memasuki dunia guru. Dengan demikian, dalam menjalankan tugas, beliau akan selalu melihat landasan ontologi memasuki dunia pendidikan. Tidak ada lagi sifat menyalahkan peserta didik ketika terjadi kegagalan output pendidikan namun evaluasi diri lebih menjadi dasar untuk menuju perbaikan.
Pertanyaan yang (seharusnya) selalu hadir dalam seorang diri guru adalah akan dibawa kemana peserta didik ini? Bagaimana membawanya? Kedua pertanyaan itu menjadi dasar seorang guru untuk melangkah dalam proses pembelajaran. Bagaimana membawanya? Pertanyaan tersebut terkait dengan metode yang akan dipakai dalam proses pembelajaran. Bagaimana seorang guru menerapkan pembelajaran yang akan membentuk peserta didik pada pribadi yang optimal? Guru harus memiliki teknik-teknik penyampaian pengetahuan yang tidak membelenggu. Tidak hanya itu, guru harus juga memiliki metode-metode dalam memperlakukan peserta didik secara berbeda mengingat peserta didik adalah pribadi yang berbeda sehingga setiap pribadi dipertajam pisau analisisnya, diasah nuraninya, dan dikuatkan kehendaknya, agar dalam konteks apapun mereka sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun, seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
Seiring dengan perkembangan masa, maka perubahan demi perubahan yang menghantui negara ini tidak terlepas juga dengan dunia pendidikan yang ada. Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan demi tercapainya amanat yang tersirat dalam UUD 1945 dan dalam penjabaran UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan warga negara indonesia secara total. Banyak sekali upaya yang dilakukan, salah satunya adalah memperbaiki kurikulum yang berlaku serta mutu pendidikan yang di dapat oleh guru merupakan faktor penting dan tantangan yang harus dijawab dengan mutu dan kualitan dalam segala hal (berhubungan dengan pendidikan).


V.    Membenahi Pendidikan Nasional
Berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang upaya mengantarkan anak manusia untuk dapat hidup layak dalam lingkungan masyarakatnya kelak. Tetapi seringkali pendidikan justru menyebabkan manusia terasing dari lingkungannya, karena kurang tepatnya arah dan proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan. Seperti halnya terjadi dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Kurikulum  berorientasi pada isi (content) yang selama ini digunakan telah mengarahkan proses pendidikan pada pengembangan kemampuan kognitif  yang tidak seimbang dengan pengembangan kemampuan pada aspek lain seperti afektif, psikomotor, dan kreativitas serta terlepas dari lingkungan, sehinga manusia yang dihasilkan tidak mampu hidup layak dan tidak kreatif dalam lingkungan kehidupannya. Selain itu, pendidikan kurang mampu mengembangkan potensi (human capacity) yang dimiliki individu secara optimal, tetapi lebih pada pengembangan manusia sebagai suatu sumberdaya yang harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Melihat kenyataan seperti ini, maka amatlah tepat apabila orientasi pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia mulai saat ini dan ke depan lebih diarahkan pada Human Capacity Development (HCD) secara terintegrasi dengan pengembangan kecakapan hidup (life skills) dan bukan Human Resources Development (HRD).

HCD mengacu pada proses pendidikan yang bermuara pada pengembangan seluruh potensi kecerdasan manusia yang bersifat majemuk (multiple intelligence), serta menggali dan mengembangkan keunggulan tersembunyi (Hidden Excellent) yang dimilikinya. Proses pendidikan seperti ini bisa berlangsung apabila ditunjang oleh suasana lingkungan belajar yang kondusif: ramah, menyenangkan, fleksibel, gembira, multi-cara, multi-indrawi, manusiawi, mengasuh dengan penuh kasih sayang,  mengutamakan aktivitas mental-emosional-fisik, bersifat inklusif/mengutamakan kerja sama, mementingkan tujuan, dan berbasis pada hasil. Kondisi seperti ini mendorong peserta didik belajar tanpa tekanan, sehingga dapat membangkitkan energi belajarnya. Sementara itu, HRD lebih mengutamakan pengembangan potensi intelektual sebagai tekanan utama, sehingga melahirkan lingkungan belajar yang kaku, membosankan, behavioristik, verbal, mengendalikan, mengutamakan isi/materi, berorientasi mental kognitif, dan berbasis pada kebutuhan. Kondisi seperti ini menimbulkan energi belajar melemah sehingga peserta didik tidak mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang di miliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya. Artinya, kecakapan hidup tidak terbatas pada keterampilan untuk berkerja tetapi lebih luas dari itu adalah kecakapan untuk menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan sekaligus mampu mencari dan menemukan pemecahanya. Ada lima kecakapan dasar untuk menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yaitu:
1)      Kecakapan mengenali diri (Self-awarness),
2)      Kecakapan berpikir (Thiking Skills),
3)      Kecakapan sosial (Social Skills),
4)      Kecakapan akademik (Academic Skills), dan
5)      Kecakapan vokasional (Vocational Skills)
Kelima kecakapan dasar ini perlu dikembangkan secara terintegrasi dalam keseluruhan proses pendidikan, agar pendidikan mampu mengantarkan peserta didik untuk bisa hidup layak pada kehidupannya kelak.
Berbagai kondisi pada latar institusi pendidikan akan sangat mempengaruhi terhadap upaya dalam membelajarkan peserta didiknya. Ada dua masalah pokok yang terkait dengan tugas guru sebagai ujung tombak keberhasilan institusi pendidikan dalam membelajarkan anak didiknya, 1) Bagaimana penyelenggaraan proses pembelajaran dewasa ini, dan 2) Bagaimana kegiatan pembelajaran seyogyanya dilakukan guru agar dapat membangkitkan energi belajar pada diri siswa sehingga pembelajaran lebih efektif?



A.    Penyelenggaraan Proses Pembelajaran Dewasa ini
Bagaimana proses penyelenggaraan pembelajaran di institusi pendidikan kita dewasa ini dibandingkan dengan perkembangan masyarakat pada era global? Jika kita telaah secara seksama, paling tidak ada tujuh hal yang menunjukkan ketidak sesuaian antara proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tuntutan masyarakat global, yaitu :
1.      Sekolah masih menyelenggarakan proses pembelajaran yang bersifat umum dan teoritik, sementara pada masyarakat global setiap individu dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang bersifat spesifik.
2.      Sekolah menuntut setiap siswa untuk mastery matery, sementara di masyarakat setiap individu dituntut untuk sharing jobs and  responsibility.
3.      Proses pembelajaran di sekolah kurang menuntut siswa untuk menggunakan alat-alat pikirnya (tool-lessthought), sementara di masyarakat dituntut untuk mempu mengunakan peralatan kognitif (cognitive tools) secara optimal.
4.      Proses pembelajaran di sekolah lebih mengarah pada pengembangan berpikir simbolik (symbolic thinking), sementara di masyarakat  dituntut untuk terlibat secara langsung (direct involved).
5.      Di sekolah anak didik cenderung bertindak sebagai penerima informasi yang pasif dan guru bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi (dengan segala kekurangan dan kelebihannya), sementara mesyarakat di era global menuntut kemampuan mencari, memilih, dan memilah informasi (information searching).
6.      Proses pembelajaran lebih bersifat individual dan kompetitif, sementara pada masyarakat global menuntut kemampuan kooperatif dan kolaboratif.
7.      Orientasi tujuan pembelajaran ke arah pengembangan kemampuan kognitif (kecerdasan intelektual) lebih mendominasi dalam proses pembelajaran, sementara masyarakat global menuntut kemampuan kognitif, afektif, psikomotor, dan kreativitas yang terintegrasi (baca: kompetensi).
Jika proses penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di institusi-institusi pendidikan tidak dapat menyesuaikan dengan tuntutan yang dibutuhkan di masyarakat, pada akhirnya institusi pendidikan tidak akan mampu mengantarkan para peserta didiknya untuk dapat hidup dalam masyarakat tetapi justru sebaliknya akan menyebabkan mereka terasing dari masyarakatnya. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus melakukan perubahan proses penyelenggaraan pendidikan secara terus menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Meminjam kata dari Dryden dan Vos[3] secara ekstrim dikatakan bahwa sekolah perlu melakukan revolusi pembelajaran (the learning revolution) agar kita (bukan hanya peserta didik) dapat belajar apapun dengan lebih baik dan lebih cepat dalam masyarakat global yang cenderung cepat berubah dan tak terduga.
B.     Kegiatan Pembelajaran
Bagaimana kegiatan pembelajaran seyogyakan dilakukan agar terjadi belajar kuantum? Terkait dengan pertanyaan tersebut,  ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran agar efektif atau terjadi belajar kuantum, yaitu:
1.      Learning is most effective when it’s fun (Peter Kline).
Ciptakanlah suasana yang menyenangkan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Pecahkan berbagai kendala belajar yang dialami oleh anak didik. Arahkan mereka untuk bertumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri dan tidak muncul. Tampilkan suasana hati kita sebagai guru yang positif dan raihlah minat siswa. Jangan mengendalikan anak didik tapi jadilah pengasuh yang baik (ingat bagaimana Anda belajar secara kuantum ketika bertumbuh dan berkembang secara mengagumkan pada rentang usia 0 hingga 6 tahun di bawah asuhan orang tua).
2.      To learn it, do it (Robert C. Schank)
Jika belajar hanya dengan cara mendengarkan maka konten yang dipelajari akan mudah lupa, jika dengan cara melihat mungkin akan ingat tetapi belum tentu bisa, jika dengan cara melakukan maka seluruh indera kita bekerja secara aktif sehingga akan lama diingat dan pasti bisa. Oleh karena itu, lakukanlah kegiatan belajar itu dengan melibatkan anak secara aktif bukan hanya sekedar fisik tetapi aktif secara mental-emosional. Ciptakanlah alat peraga yang memungkinkan anak bisa bereksplorasi dengan melakukan berbagai hal terkait dengan materi yang diajarkan. Bila perlu dan memungkinkan, bawalah objek sesungguhnya yang dipelajari ke dalam kelas atau bawalah anak didik ke lingkungan yang relevan dengan bahan yang dipelajari.
3.      Your brain is like a sleeping giant (Tony Buzan)
Pelajarilah berbagai hasil penelitian mutahir tentang cara kerja otak. Ubahlah pengetahuan kita tentang itu semua ke dalam tindakan kita saat membelajarkan anak. Kembangkanlah kemampuan otak anak secara maksimal melalui pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti berpikir analitis, kritis, dan pemecahan masalah. Jangan biarkan otak anak didik kita terbaring terus dalam tidur yang panjang, atau jangan biarkan otak anak bekerja sambil terkantuk-kantuk. Perhatikan agar kemampuan belahan otak kanan dan kiri anak bisa berkembang secara seimbang.
4.      The traditional education system is Obsolute (Richard L. Measelle)
Dewasa ini kegiatan pembelajaran lebih cenderung bersifat tertutup dan mutlak. Jika guru bertanya dan siswa menjawab tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka guru akan menyalahkan seolah-olah jawaban yang benar itu mutlak/tertutup dan tidak ada alternatif jawaban lain. Perlu diingat bahwa: “Anak didik tidak pernah salah dalam menjawab pertanyaan, mereka menjawab sesuai dengan persepsinya atas pertanyaan tersebut. Tugas kita adalah mencari pertanyaan yang benar untuk jawaban tersebut.” Ciptakanlah pembelajaran yang terbuka (divergen) agar berkembang kemampuan berpikir kreatif anak.
5.      Six main pathways to the brain : we learn by what we see, what we hear, what we taste, what we touch, what we smell, and what we do (Gordon Dryden)
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga para siswa belajar hanya dengan mengandalkan kemampuan menyerap informasi melaui pendengaran saja, padahal setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda sesuai dengan kemampuan belajar yang menonjol pada dirinya (auditory, visual, dan bodilykinestetics). Lebih parah lagi, secara umum terjadi ketika kita melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan metode ceramah, kita menyampaikan presentasi dan eksplanasi yang cenderung “berbicara kepada siswa” ketimbang “berbicara dengan siswa”. Akibatnya, paling tidak tergambar sebagai berikut:
1)      komunikasi menjadi satu arah,
2)      siswa pasif menerima informasi dan terkesan seperti tong kosong yang siap diisi dengan berbagai informasi yang mungkin saja tidak sesuai dengan harapannya,
3)      pembelajaran menjadi teacher center,
4)      potensi intelektual, personal, dan sosial siswa  kurang bertumbuh dan berkembang,
5)      kurang memacu keterampilan berpikir siswa,
6)      kecil kemungkinan terjadi self-discovery learning, dan
7)      kepercayaan diri siswa melemah. Semua itu menyebabkan hasil belajar yang dicapainya tidak maksimal. Oleh karena itu, ciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkan semua kemampuan belajar siswa berkembang.
6.      An idea is a new combination of old elements (Gordon Dryden)
Guru seringkali memaksakan konsep atau materi baru yang diajarkan tanpa mempertimbangkan pengetahuan yang telah dimiliki anak. Padahal manusia belajar dan membangun pengatahuannya atas dasar pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lakukanlah pembelajaran dimulai dari apa yang sudah diketahui siswa.
Mencermati beberapa pemikiran cemerlang di atas dan kaitannya dengan penyelenggaran pembelajaran, maka kita yakin bahwa (1) semua anak bisa belajar apapun jika mereka senang melakukannya, (2) bagi anak berbakat (bakat intelektual) belajarnya bisa dipercepat (accelerated learning) jika suasana belajar kondusif untuk terjadinya percepatan belajar, (3) pembelajaran bukan hanya mampu meningkatkan kemampuan atau kecerdasan intelektual anak tetapi juga kecerdasan multiple anak.
Metode pembelajaran yang bagaimanakah yang paling baik untuk terjadinya pembelajaran yang efektif dan efisien? Tentu saja tidak ada metode yang paling baik, karena metode pembelajaran sangat terkait dengan karakteristik materi pelajaran, sarana dan keterampilan guru dalam melaksanakannya. Pada prinsipnya, quantum learning menuntut diselenggarakannya kegiatan pembelajaran yang bersifat multi-method dan multi-threat. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan ke depan disarankan mengunakan metode pembelajaran yang bersifat integratif yang mampu membangkitkan seluruh energi pada diri anak didik untuk belajar, salah satu contoh misalnya pembelajaran kooperatif–kolaboratif.
Bagaimana strategi pembelajaran yang harus kita rancang agar dapat mebangkitkan energi belajar pada diri anak didik? Berikut ini disajikan strategi umum yang pada penerpannnya dapat dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dihadapi. Strategi yang dimaksud adalah:
a.       Kegiatan pra-instruksional
Keberhasilan guru dalam membelajarakan anak didik diawali dari aktivitasnya dalam mengawali kegiatan pembelajaran (kegiatan pra-instruksional). Apabila pada kegiatan pra-instruksional ini, guru mampu membangkitkan energi belajar pada diri anak didik, maka keberhasilannya dalam membelajarkan anak didik sudah di depan mata. Sebaliknya akan gagal jika pada kegiatan awal guru tidak mampu membangkitkan energi belajar tersebut. Oleh karena itu, strategi yang harus disiasati guru pada kegiatan pra-instruksional adalah mengidentifikasi berbagai alternatif aktivitas maupun ungkapan verbal yang cocok dengan usia anak didik yang dihadapi serta relevan dengan bahan pembelajaran yang akan disampaikan, kemudian dikemas dengan apik dan cermat untuk disajikan mengawali proses pembelajaran.
Suatu bentuk aktivitas pra-instruksional itu dakatakan cocok apabila berdasarkan pemikiran rasional maupun pengalaman empirik sebelumnya, aktivitas tersebut teruji dapat membangkitkan energi belajar berupa:
1)      Kepercayaan diri anak didik, mereka meyakini bahwa dirinya dapat berhasil menguasai bahan yang akan dipelajarinya “saya pasti bisa”.
2)      Meraih minat anak didik, melalui aktivitas dan ungkapan-ungkapan yang disampaikan guru menimbulkan minat dan rasa ingin tahu yang besar pada diri anak didik.
3)      Menciptakan AMBAK, mereka juga meyakini bahwa apa yang akan dipelajarinya memberi manfaat bagi dirinya.
4)      Mendorong timbulnya motivasi belajar yang tinggi pada diri anak didik.
5)      Mengaktifkan mental perancah (scaffolding), apa yang sudah diketahui anak sebelumnya merupakan bahan pengait yang akan menjadi mental perancah guna menguasai bahan pembelajaran baru.
Aktivitas untuk membangkitkan itu semua dapat dilakukan melalui beragam permainan, cerita pengantar diskusi, teka-teki, dan berbagai aktivitas kreatif lainnya. Prinsipnya hindari aktivitas atau ungkapan verbal yang dapat menimbulkan kontra-produktif.
b.      Kegiatan Utama
Apabila kegiatan pra-instruksional telah berhasil membangkitkan energi belajar sehingga anak didik siap untuk belajar bahan pembelajaran baru, maka langkah selanjutnya adalah merancang kegiatan inti yang memungkinkan anak belajar dalam suasana yang aman, gembira, menyenangkan (tidak tertekan) namun menantang. Bahan pembelajaran baru yang dimaksud meliputi:
1)      pengetahuan (knowledge), 
2)      keterampilan (skills) baik keterampilan motorik, berpikir, dan berbicara,
3)      sikap dan nilai (attitude), serta
4)      Pembiasaan bertindak yang didasari oleh integritas kepribadian yang tinggi.
Kegiatan pembelajaran utama pada intinya harus memuat:
1)      Penjelasan disertai ilustrasi, analogi, dan metafora yang relevan dengan bahan ajar dan cocok dengan perkembangan intelektual dan emosional anak. Dalam hal ini, usahakan agar terjadi interaksi multi-arah. Artinya jangan sampai terjadi dominasi ada di pihak guru. Lakukanlah teknik “berbicara dengan siswa” bukan “berbicara kepada siswa”.
2)      Pemberian contoh dan noncontoh untuk memantapkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran yang disampaikan.
3)      Pemberian latihan yang dapat mengembangkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran. Mulailah latihan dari hal-hal yang sederhana, dan berilah kesempatan anak yang memiliki potensi lebih pada bidang studi tersebut untuk berlatih lebih banyak.
4)      Praktik  untuk membiasakan anak menggunakan apa yang sudah dipelajari ke dalam tindakan-tindakan nyata.
Pada praktiknya, guru dituntut untuk melakukan kegiatan utama ini dengan multi-traits, multi-methods, dan multi-games, sehingga melahirkan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk belajar dan mengembangkan seluruh potensinya secara optimal. Guru bisa mengadopsi berbagai permainan dari berbagai media dan memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan untuk digunakan sebagai teknik pembelajaran di kelas.

c.       Kegiatan Penutup
Kegiatan ini merupakan bagian untuk mengevaluasi keberhasilan guru dalam membelajarkan anak didik dan keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Kegiatan penutup ini juga merupakan sarana bagi guru maupun anak didik untuk mendapatkan umpan balik (feedback) dan penetapan tindak lanjut yang harus dilakukan guru untuk memperbaiki kelemahan, kesulitan dan kekurangan anak didik, serta memperbaiki program pembelajarannya.

Untuk mereformasi pendidikan perlu dilakukan beberapa terobosan, seperti perlu ada kesepakatan dan komitmen bersama dari para pemimpin bangsa dan partai politik untuk menghentikan tendensi instrumentalisasi Depdiknas beserta segala perangkatnya di daerah. Capacity building yang perlu dilakukan dalam tubuh birokrasi pendidikan tidak dimaksudkan untuk memperkuat kembali peran negara seperti yang terjadi di era Orde Baru, melainkan mencari titik imbang di antara ketiga pilar demokrasi: negara, masyarakat (warga negara), dan pasar. Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti ujian nasional, pengadaan program sertifikasi guru, ujian sertifikasi guru serta manipulatif seperti dalam proyek penerimaan calon pegawai negeri sipil.
Sebelum anggaran 20% bisa direalisasikan, mekanisme monitoring dan evaluasi perlu dibuat dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Negosiasi pusat dan daerah dalam era desentralisasi pendidikan seyogianya tidak berpusat pada siapa yang lebih berkuasa, melainkan pembagian peran antara pusat dan daerah. Dengan kebijakan otonomi daerah setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat, tetapi tetap mengacu pada standar mutu yang ditetapkan secara nasional. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.








Referensi

Abi M.F. Yaqin (tt) Mendidik Secara Islami, Lintas Media, Jombang

Education (April 20, 2008) Analisa Kritik Terhadap Praktek Pendidikan Indonesia

Freire (1969) L’educazione come practica della libeazione

Ki Supriyoko (21 Agustus 2000) “Seriuslah Membenahi Pendidikan” Harian Kompas. Jakarta

UU No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Citra Umbara Bandung. 2006

Nandang Hidayat, M.Pd (tt) Ciptakan Lingkungan Yang Dapat Mebangkitkan Energi Belajar Pada Anak Didik, Art.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar