SISTEM PENDIDIKAN
INDONESIA
I.
Pendahuluan
Setiap
bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional masing-masing
bangsa berdasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaannya. Kebudayaan tersebut
sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingga
mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa.
Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebu-dayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945
sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional di susun sedemikian rupa, meskipun secara garis besar ada
persamaan dengan Sistem Pendidikan Nasional bangsa lain sehingga sesuai dengan
kebutuhan akan pendidikan dari bangsa Indonesia yang secara geografis,
demografis, historis dan kultural berciri khas.
II.
Tujuan Pembelajaran
Setelah
membaca dan mempelajari materi pembelajaran tentang Sistem Pendidikan
Indonesia, maka Anda akan dapat:
1.
Menjelaskan apa yang
dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional.
2.
Menjelaskan macam
jalur, jenjang dan jenis program Pendidikan Nasional Indonesia.
3.
Menjelaskan pengelolaan
Jalur Pendidikan Sekolah dan Jalur Pendidikan Luar Sekolah.
4.
Menjelaskan upaya-upaya
yang dilakukan untuk pengembangan Sistem Pendidikan Nasional.
5.
Menjelaskan garis besar
perkembangan aspek legal Sistem Pendidikan Nasional.
III.
Deskripsi Sajian
Untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan di atas, maka di bawah ini disajikan materi
yang meliputi:
a.
Kelembagaan, Program dan Pengelolaan Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Nasional Indonesia
adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) adalah keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Sistem Pendidikan Nasional
diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab Menteri
Pendidikan Nasional dan Menteri lainnya, seperti pendidikan agama oleh Menteri
Agama, AKABRI oleh Menteri Hankam, juga Depar-temen lainnya menyelenggarakan
pendidikan yang disebut pendidikan dan latihan (diklat).
Pembahasan akan dibatasi pada
penyelenggaraan pendidikan yang berada di bawah tanggung jawab Menteri
Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui
bentuk-bentuk kelembagaan beserta program-programnya, yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Kelembagaan Pendidikan
Pendidikan Nasional dilaksanakan
melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam
bentuk kelompok belajar. Berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tertanggal 11 Juni
2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, kelembagaan pendidikan dapat dilihat
dari segi jalur pendidikan dan program serta pengelolaan pendidikan.
a)
Jalur Pendidikan
Penyelenggaraan
SISDIKNAS dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
1)
Jalur Pendidikan Formal
Jalur Pendidikan formal merupakan
pendidikan yang diselenggarakan di sebuah lembaga – biasanya sekolah dengan
melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan (bisa
pendidikan anak usia dini – pendidikan dasar – pendidikan menengah – pendidikan
tinggi – bisa juga pendidikan kedinasan). Sifatnya formal, diatur berdasarkan
ketentuan-ketentuan pemerintah, serta adanya keseragaman pola yang bersifat
nasional.
2)
Jalur Pendidikan
Nonformal
Jalur
pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakat-an yang
diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak
berjenjang dan tidak berkesinambungan, seperti kepramukaan, berbagai kursus,
dan lain-lain. Pendidikan nonformal memberikan kemungkinan perkembangan sosial,
kultural seperti bahasan dan kesenian, keagamaan, keterampilan yang dapat
dimanfa-atkan oleh anggota masyarakat untuk mengembangkan dirinya dan membangun
masyarakatnya
Sifatnya
tidak formal dalam arti tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasio nal.
Modelnya sangat beragam. Dalam hubungan ini pendidikan keluarga merupakan
bagian dari jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan dalam keluarga yang
fungsi utamanya mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional.
3)
Jalur Pendidikan
Informal
Jalur
pendidikan informal merupakan pendidikan yang bersifat dan dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Sifatnya
tidak formal dalam arti tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasional.
Modelnya sangat beragam. Dalam hubungan ini pendidikan keluarga merupakan
bagian dari jalur pendidikan informal yang diselenggarakan dalam keluarga yang
fungsi utamanya menanamkan keyakinan agama, nilai budaya dan moral serta
keterampilan praktis.
b) Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (UU RI. No. 20 Tahun
2003 Bab I. Pasal 1 ayat 8).
Jalur pendidikan sekolah
dilaksanakan secara berjenjang yang terdiri atas jen-jang pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk memasuki
pendidikan dasar diselenggara-kan kelompok belajar yang disebut pendidikan anak
usia dini (UU RI. No. 20/2003 Bab VI, pasal 28 ayat 1). PAUD dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
1)
Jenjang Pendidikan
Dasar
Pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendi-dikan menengah,
diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam
masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar.
2)
Jenjang Pendidikan
Menengah
Pendidikan menengah merupakan
lanjutan pendidikan dasar, yang terdiri dari pendidikan menengah umum dan
pendidikan menengah kejuruan, pendidikan menengah luar biasa, pendidikan
menengah kedinasan dan pendidikan menengah keagamaan.
Pendidikan menengah dalam hubungan
ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, dan dalam
hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi
memasuki lapangan kerja.
3)
Jenjang Pendidikan
Tinggi
Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembang-kan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
Satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguru-an tinggi yang dapat berbentuk
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
Akademi
merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu
cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu.
Politeknik merupakan perguruan yang
menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
Sekolah Tinggi ialah perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akade-mik dan/atau profesional dalam
satu disiplin ilmu atau bidang tertentu.
Institut
ialah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang
menye-lenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok
disiplin ilmu yang sejenis.
Universitas
adalah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
Output pendidikan tinggi diharapkan
dapat mengisi kebutuhan yang beraneka ragam dalam masyarakat. Dari segi peserta
didik kenyataan menunjukkan bahwa minat dan bakat mereka beranekaragam.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka perguruan tinggi disusun dalam multi-strata.
2.
Program dan Pengelolan Pendidikan
1.
Jenis Program Pendidikan
Jenis Pendidikan adalah kelompok
yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan (UU
RI. No.20/2003 Bab I pasal 1 ayat 9). Program pendidikan yang termasuk jalur
pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan
pendidikan lainnya.
a)
Pendidikan Umum
Pendidikan umum merupakan
pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang
diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
b)
Pendidikan Kejuruan
Merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama bekerja dalam bidang tertentu.
c)
Pendidikan Akademik
Merupakan pendidikan tinggi program
sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama
pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
d)
Pendidikan Profesi
Merupakan pendidikan tinggi setelah
program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan keahlian khusus.
e)
Pendidikan Vokasi
Merupakan pendidikan tinggi yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
f)
Pendidikan Keagamaan
Merupakan pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi yang mempersiap-kan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
g)
Pendidikan Khusus
Pendidikan khusus diselenggarakan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa, pendidikan ini dilaksanakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil,
dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi
ekonomi.
2.
Kurikulum Program Pendidikan
Konsep Sistem Pendidikan Nasional
direalisir melalui kurikulum. Kurikulum memberi
bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada peserta didik. Istilah
kurikulum asal mulanya dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno. Curir dalam bahasa Yunani Kuno
berarti ”pelari” dan Curere
artinya ”tempat berpacu”. Kurikulum kemudian dideskripsikan oleh beberapa
ahli, sebagai:
-
Jarak yang harus
ditempuh” oleh pelari (Nana Sudjana, 1989:4).
-
Rencana kegiatan untuk
menentukan pengajaran (Macdonald, 1965)
-
Seperangkat mata
pelajaran dan materi pelajaran yang terorganisir (Hyemen, 1973).
-
Rencana untuk
membelajarkan peserta didik (Taba, 1962).
-
Pengalaman belajar (Krug
dan Edward A., 1965).
Dalam hubungan dengan pembangunan
nasional, kurikulum pendidikan nasional mengisi upaya pembentukan sumber daya
manusia untuk pembangunan. Dalam kaitan ini, kurikulum mengandung dua aspek,
yaitu:
a)
Kurikulum Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional
dinyatakan di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 pasal pasal 3 yaitu: (a)
berkembangnya potensi peserta didik, (b) manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, (c) berakhlak mulia, (d) sehat, (e) berilmu, (f)
cakap, (g) kreatif, (h) mandiri, dan (i) menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Masing-masing
satuan pendidikan (menurut jalur, jenjang dan jenis) mem-punyai tugas untuk
mencapai tujuan nasional tersebut, disamping tujuan institusional yang diemban
oleh masing-masing satuan pendidikan. Misalnya,
SMK Teknik seba-gai suatu satuan pendidikan mengemban tujuan ganda, yaitu
menyiapkan tenaga teknisi yang terampil (Tujuan
Institusional) dan yang sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, berakh lak mulia,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tujuan Pendidikan Nasional). Jadi tujuan Pendidikan Nasional
diberlakukan untuk semua satuan pendidikan, dari pendidikan usia dini sampai
dengan pendidikan tinggi, pendidikan formal, nonformal ataupun informal,
demikian pula jenis pendidikan khusus seperti pendidikan khusus, pendidikan
kedinasan, dan seterusnya.
Kaitan antara tujaun Pendidikan Nasional dengan tujuan satuan
pendidikan tersebut dapat dilihat dari bagan di bawah ini:
Kurikulum menjembatani tujuan
tersebut dengan praktek pengalaman belajar riil dilapangan/sekolah. menurut
Soedijarto (191:145) merinci kurikulum atas lima tingkatan, yaitu:
1)
Tujuan Institusional,
yang menggambarkan berbagai kemampuan (pengetahuan, keterampilan, nilai, dan
sikap) yang harus dikuasai oleh peserta didik dari suatu satuan pendidikan.
2)
Kerangka materi yang
memberikan gambaran tentang bidang-bidang pelajaran yang perlu dipelajari
peserta didik untuk menguasai serangkaian kemampuan serta pengetahuan, yang disebut
dengan struktur program kurikulum.
3)
Garis besar materi dari
suatu bidang pelajaran yang telah dipilih, biasa disebut GBPP atau Silabi.
4)
Panduan dan buku-buku
pelajaran yang disusun untuk menunjang terjadinya proses pembelajaran (Pedoman Guru dan Buku Paket Belajar).
5)
Bentuk dan jenis
kegiatan pembelajaran yang dialami oleh peserta didik, yaitu strategi belajar mengajar.
Lima komponen kurikulum tersebut
jika dilihat secara keseluruhan dapat dikelompokkan atas:
-
Tujuan Pendidikan
(butir 1), - Materi Pendidikan (butir 2
s.d. 4) Dinamakan sebagai ”Kurikulum Nasional”, oleh karena tujuan dan materi
pendidikan tersebut diberlakukan sama pada setiap macam satuan pendidikan di
seluruh Indonesia.
-
Metodologi (butir 5).
Implementasi kurikulum yang dianggap menjadi tanggung jawab guru dan Kepala
Sekolah.
Mengenai
isi kurikulum nasional itu di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 pasal
36
ayat 1 dinyatakan: Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Ayat
2 menyatakan bahwa: Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik. Dan ayat 3 menyatakan bahwa: Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1)
Peningkatan iman dan
takwa;
2)
Peningkatan akhlak
mulia;
3)
Peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik;
4)
Keragaman potensi
daerah dan lingkungan;
5)
Tuntutan pembangunan
daerah nasional;
6)
Tuntutan dunia kerja;
7)
Perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni;
8)
Agama;
9)
Dinamika perkembangan
global; dan
10)
Persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan.
Kemudian pasal 37 ayat 1,
menyatakan bahwa: Isi kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat:
1)
Pendidikan agama;
2)
Pendidikan
kewarganegaraan;
3)
Bahasa;
4)
Matematika;
5)
Ilmu pengetahuan alam;
6)
Ilmu pengetahuan
sosial;
7)
Seni dan budaya;
8)
Pendidikan jasmani dan
olahraga;
9)
Keterampilan/kejuruan;
dan
10)
Muatan lokal.
Ayat 2, menyatakan bahwa:
kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat:
1)
pendidikan agama;
2)
pendidikan
kewarganegaraan; dan
3)
bahasa;
b)
Kurikulum Muatan Lokal
Kurikulum muatan lokal diwujudkan
dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 tanggal 11
Juli 1987 tentang Penerapan Muatan Lokal Sekolah Dasar, kemudian disusul dengan
penjabaran pelaksanaannya dalam keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
No.173/C/Kep/M/1987 tanggal 7 Oktober 1987. Bahwa
yang dimaksud dengan muatan lokal
adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan
lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah
dan perlu dipelajari oleh murid di daerah itu.
Tujuan
Muatan Lokal, dalam hubungannya dengan Kepentingan Nasional, maka muatan
lokal memiliki tujuan sebagai berikut:
1)
Melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan yang khas daerah.
2)
Mengubah nilai dan
sikap masyarakat terhadap lingkungan ke arah yang positif.
Sedangkan dari sudut Kepentingan
Peserta Didik, muatan lokal memiliki tujuan sebagai berikut:
1)
Mingkatkan pemahaman
peserta didik terhadap lingkungannya (lingkungan alam, sosial dan budaya).
2)
Mengakrabkan peserta
didik dengan lingkungannya sehingga mereka tidak asing dengan lingkungannya.
3)
Menerapkan pengetahuan
dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ditemukan di lingkungan sekitarnya.
4)
Memanfaatkan sumber
belajar yang kaya yang terdapat di lingkungannya.
5) Mempermudah penyerapan mereka
terhadap materi pelajaran.
Daftar Istilah
Pendidikan
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan
nasional
Pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sistem
pendidikan nasional
Keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Peserta didik
Anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Jalur
pendidikan
Wahana yang dilalui
peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan
yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Jenjang
pendidikan
Tahapan pendidikan
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang
akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
Jenis
pendidikan
Kelompok yang
didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
Satuan
pendidikan
Kelompok layanan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
1. Pendidikan formal; Jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
2.
Pendidikan nonformal; Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
3.
Pendidikan informal; Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan
anak usia dini
Suatu upaya pembinaan
yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan
jarak jauh
Pendidikan yang
peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan
berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media
lain.
Standar
nasional pendidikan
Kriteria minimal
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Wajib belajar
Program pendidikan
minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Warga Negara
Warga Negara
Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat
Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
IV.
Paradigma Pendidikan di Indonesia
Berangkat dari jaman Presiden
Soekarno, kemudian Soeharto hingga sekarang, sudah berapa kali system
Pendidikan Nasional Bangsa ini berubah? Namun mengapa tidak pernah selesai.
Artinya satu system akan berhasil apabila dia dituntaskan. Namun apa yang
terjadi setiap kali perubahan Presiden dan Menteri maka berubah pula kebijakan
tentang system pendidikan nasional ini.
Padahal system pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun
Partai Politik. Lalu sebenarnya apa yang menjadi tujuan dasar sebuah pendidikan?
Padahal system pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun
Partai Politik. Lalu sebenarnya apa yang menjadi tujuan dasar sebuah pendidikan?
Berbicara mengenai kinerja
pendidikan nasional suatu negara, kiranya tidak ada yang lebih mengerikan
kecuali Indonesia. Posisi kita kini tidak hanya terpuruk dalam ekonomi dan
politik, tetapi dalam soal-soal yang lain pun juga mengalami kondisi yang sama,
termasuk dalam soal pendidikan. Suka tidak suka, kinerja pendidikan nasional
kita kini memprihatinkan. Akhir tahun 1998 lalu Bank Dunia membuat laporan
pendidikan di Indonesia berjudul Education
in Indonesia: From Crisis to Recovery, Dalam laporan setebal 174 halaman
dan terdiri tujuh bab itu, meski tidak langsung namun secara jelas
menggambarkan kegagalan pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia. Tingkat
partisipasi pendidikan yang rendah, angka drop-out yang tinggi, angka
melanjutkan yang terbatas, prestasi belajar siswa yang rendah dan sebagainya,
merupakan indikator gagalnya pendidikan nasional kita.
Apa yang ditulis Bank Dunia itu,
sebenarnya amat memalukan, meski secara substantif memang banyak benarnya.
Nyatanya, sampai kini tingkat partisipasi SLTP masih rendah meski wajib belajar
sembilan tahun sudah dicanangkan beberapa tahun silam, angka putus sekolah masih
tinggi meski kita sering berteriak "selamatkan masa depan anak-anak",
dan banyak lulusan sekolah tidak bisa berbahasa internasional meski
bertahun-tahun diberi pelajaran bahasa Inggris.
Pernahkah anda berfikir untuk menyekolahkan
anak anda semata-mata hanya untuk mendapat nilai 9 di Raport? Kemudian diakhir
sekolah dia menjadi pengangguran? Atau tidak ada bedanya mendapat angka 5 di
raport namun akhirnya menjadi seorang yang sukses dan terkenal?
Disini perlu diperhatikan tujuan
kita untuk sekolah. Sekolah sebagai saran dan tempat mendapatkan pengajaran dan
pendidikan yang akan membuat kita mengenal, tahu, dan bisa melakukan hal-hal
yang baru dengan cara yang cerdas dan efisien. Tidak sekedar membina dan
mendidik para siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang akan
mempertaruhkan 3 tahun pembelajaran dan jerih payah siswa. Kita menginginkan
pemerintah lebih serius dan cerdas dalam memilih jenis sitem pendidikan. Jangan
hanya main comot dari Negara luar yang sudah berhasil system pendidikannya. Hal
ini akan berhasil apabila semua system dan prasarana yang ada sudah seperti
Negara dimana system tersebut diadopsi. Jangan memaksakan suatu system
sementara sarana dan prasarana belum diperbaharui. Masih banyak gedung sekolah
dasar bahkan SLTP yang masih tidak layak huni. Masih banyak para pengajar kita
yang sore harinya menjadi pemulung, dan malam harinya menjadi tukang ojek untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Kalau hal tersebut di atas masih
terjadi bagaimana seorang Guru bisa berkonsentrasi pada apa yang akan
disampaikan/diajarkan esok harinya sementara malamnya dia tidak sempat
melakukan persiapan gara-gara harus ngojek. System pendidikan nasional kita
sekarang ini masih mengedepankan pada pencapaian berbasis nilai bukan pada
keterampilan dan competency. Sehingga kita tidak perlu bertanya dan bingung
mengapa banyak sarjana yang nganggur, peserta olimpiade fisika yang tidak lulus
Ujian Nasional dan banyak lagi hal-hal yang menggelikan dari sistem pendidikan
ini.
Secara awam, guru disebut sebagai
seseorang yang menguasai sebuah bidang ilmu pengetahuan dan berkewajiban
mentransfer ilmu pengetahuan tersebut. Seorang guru adalah sesosok dengan
kepribadian yang lembut, angun, santun, sopan, dan jujur (dan mungkin masih
banyak lagi sifat baik lainnya). Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi
kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja
budaya (cultural workers). Guru harus mempunyai kesadaran penuh bahwasanya
pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus, yakni sebagai aksi kultural
untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni dan
sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium
untuk mereproduksi status quo.
Sumber daya pendidik, guru,
menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan. Di Indonesia, guru seakan-akan
menjadi satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Melihat kebutuhan
semacam itu, guru harus menjadi sesosok yang mumpuni dalam menjalankan segala
fungsinya. Guru tidak saja berijazah D2 ataupun S1 atau S2. Peserta didik tidak
membutuhkan selembar kertas yang menyatakan guru mereka adalah lulusan dari
pendidikan sarjana ataupun lainnya. Guru harus melaksanakan pendidikan yang
sempurna melalui pengajaran-pengajaran yang telah direncanakan. Bagaimana
pendidikan yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang guru melalui sebuah
pembelajaran?
Menurut bahasa Yunani pengertian pendidikan
adalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan
sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan untuk merealisasikan
potensi anak. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara
dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan
kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah
(pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran,
kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Berdasar pada istilah tersebut,
guru dalam mengajar di dalam maupun di luar kelas harus memegang teguh konsep
dasar dari pendidikan tesebut karena mengajar adalah manifes nyata dari
pendidikan. Guru secara profesional melaksanakan kegiatan pengajaran. Guru
harus menciptakan sebuah suasana pembelajaran yang mampu membawa peserta didik
mereka menjadi pribadi yang optimal dan bukan memberikan pembelajaran yang
membelenggu yang hanya transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik.
Kenyataan bahwa masih banyak guru
di Indonesia yang tidak memiliki dasar yang kuat akan konsep dasar dari pendidikan
sehingga pola mengajar dari guru-guru tersebut terkesan hanya asal-asalan tidak
dapat dipungkiri lagi. Guru hanya mengejar setoran nilai pada kepala sekolah
dan dinas. Hal tersebut disebabkan karena paradigma yang salah di masyarakat
Indonesia yakni keberhasilan peserta didik hanya dilihat hanya dari potensi
akademik. Kondisi tersebut membawa keadaan dimana guru hanya menerapkan
pembelajaran searah, pembelajaran yang memberlakukan guru sebagai subjek dan
peserta didik sebagai objek. Interaksi dalam proses pembelajaran adalah
interaksi atasan dan bawahan.
Tidak sedikit guru di Indonesia
hanya peduli untuk memasukkan pengetahuan ke peserta didik dengan alasan
mengejar nilai semata. Dengan pembelajaran yang monoton yakni ceramah
dilanjutkan mencatat kemudian drill soal dan akhirnya latihan-latihan soal
mendorong peserta didik menjadi sesosok yang pandai menghapal sesaat.
Banyak permasalahan yang
menjadikan sesosok guru menjadi mesin nilai bagi sekolah, dinas, dan negara.
Guru di Idonesia tidak menjadikan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi yang
dengan penuh iklas dijalani dengan segala resiko dan kendalanya. Mereka memilih
profesi guru sebagai sebuah profesi yang aman dan nyaman. Kebanyakan guru di
Indonesia lebih “playing save”. Dengan menjadi guru, mereka akan dapat
tunjangan hari tua (pensiun). Dengan menjadi guru, mereka dapat melakukan
pekerjaan lain karena waktu mengajar sedikit. Alasan-alasan tersebut menjadi
dasar mengapa profesionalisme guru kadangkala dan bahkan jarang ada dalam diri
seorang guru. Setelah keluar dari lingkup sekolah, guru tidak lagi berfikir
bagimana perkembangan peserta didik mereka? Pendidikan hanya berhenti di dalam
sekolah dan bahkan kelas.
Berangkat dari paradigma yang
salah mengenai nilai, guru hanya menyampaikan, tidak ada proses dialog dalam
pembelajaran. Sering kali, terjadi pembunuhan karakter terlebih pada pengajaran
di tingkat dasar. Kurangnya pemahaman akan hakikat anak menjadikan sebagian
guru di Indonesia membelenggu peserta didik untuk dapat mengembangkan segala potensi
yang ada. Guru tidak memiliki kesadaran bahwa semua anak yang terlahir di dunia
memiliki karakteristik yang berbeda sekalipun kembar siam. Hasilnya adalah
pembelajaran yang menyeragamkan tanpa kecuali. Peserta didik lebih diarahkan
untuk memenuhi sejumlah target kurikulum.
Sebagiamana Freire menyatakan di
dalam buku L’educazione come practica della libeazione (1969), dia menawarkan
model pendidikan yang lebih dialogal, yaitu guru dan murid saling mendidik.
Keduanya tidak terpaku pada buku teks, yang sudah disusun begitu tematis
mengikuti kurikulum.Sebaliknya, mereka lebih diarahkan untuk mengembangkan daya
nalar dan rasa serta kemampuan kreatif karsa dalam situasi apapun. Sudah
saatnya, guru-guru di Indonesia memegang prinsip-prinsip tersebut. Guru juga
tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus
dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar
untuk aspek manusiawinya. Pendidikan kebudayaan mengajarkan bagaimana
menghubungkan pengetahuan dengan lingkungan sekitar.
Guru Indonesia sebagian besar
tidak memiliki visi yang jelas akan dibawa kemana peserta didik mereka. Visi
guru telah dibuyarkan dengan nilai ekonomis dan prestise untuk mencapai
hegomoni sesaat karena telah membawa peserta didiknya meraih nilai tertinggi.
Bagaimana mungkin membentuk karakter peserta didik jika karakter sang guru pun
tidak kuat? Guru tidak memiliki visi yang jelas kemana peserta didik meraka
akan dibawa.
Satu prinsip penting dalam
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan
dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan dalam proses ini dengan
memberikan kesempatan siswa untuk menentukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberi siswa, anak tangga yang membawa siswa ke
pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak
tangga tersebut.
Pada dasarnya pendidikan yang
membebaskan adalah situasi dimana guru dan siswa sama-sama memiliki perbedaan.
Kenyataan yang ada di Indonesia, guru tidak memandang adanya perbedaan diantara
peserta didik.
Seorang guru harus memiliki
konsep yang kuat akan tujuan pendidikan sehingga dalam melaksanakan tugasnya
guru tersebut selalu melihat apakah mereka on the right track. Setiap saat,
mereka harus senantiasa melakukan self evaluation terhadap setiap langkah dalam
pembelajaran yang mereka jalankan. Karakter guru yang kuat harus terbangun
terlebih dahulu sebelum seseorang memasuki dunia guru. Dengan demikian, dalam
menjalankan tugas, beliau akan selalu melihat landasan ontologi memasuki dunia
pendidikan. Tidak ada lagi sifat menyalahkan peserta didik ketika terjadi kegagalan
output pendidikan namun evaluasi diri lebih menjadi dasar untuk menuju
perbaikan.
Pertanyaan yang (seharusnya)
selalu hadir dalam seorang diri guru adalah akan dibawa kemana peserta didik
ini? Bagaimana membawanya? Kedua pertanyaan itu menjadi dasar seorang guru
untuk melangkah dalam proses pembelajaran. Bagaimana membawanya? Pertanyaan
tersebut terkait dengan metode yang akan dipakai dalam proses pembelajaran.
Bagaimana seorang guru menerapkan pembelajaran yang akan membentuk peserta
didik pada pribadi yang optimal? Guru harus memiliki teknik-teknik penyampaian
pengetahuan yang tidak membelenggu. Tidak hanya itu, guru harus juga memiliki
metode-metode dalam memperlakukan peserta didik secara berbeda mengingat
peserta didik adalah pribadi yang berbeda sehingga setiap pribadi dipertajam pisau analisisnya, diasah
nuraninya, dan dikuatkan kehendaknya, agar dalam konteks apapun mereka
sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun, seseorang yang menguasai ilmu
pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar
bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya
orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu
yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
Seiring dengan perkembangan masa,
maka perubahan demi perubahan yang menghantui negara ini tidak terlepas juga
dengan dunia pendidikan yang ada. Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan demi
tercapainya amanat yang tersirat dalam UUD 1945 dan dalam penjabaran UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan warga negara
indonesia secara total. Banyak sekali upaya yang dilakukan, salah satunya
adalah memperbaiki kurikulum yang berlaku serta mutu pendidikan yang di dapat
oleh guru merupakan faktor penting dan tantangan yang harus dijawab dengan mutu
dan kualitan dalam segala hal (berhubungan dengan pendidikan).
V.
Membenahi Pendidikan Nasional
Berbicara tentang pendidikan
berarti berbicara tentang upaya mengantarkan anak manusia untuk dapat hidup
layak dalam lingkungan masyarakatnya kelak. Tetapi seringkali pendidikan justru
menyebabkan manusia terasing dari lingkungannya, karena kurang tepatnya arah
dan proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan. Seperti halnya terjadi
dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Kurikulum berorientasi pada isi (content) yang selama
ini digunakan telah mengarahkan proses pendidikan pada pengembangan kemampuan
kognitif yang tidak seimbang dengan
pengembangan kemampuan pada aspek lain seperti afektif, psikomotor, dan
kreativitas serta terlepas dari lingkungan, sehinga manusia yang dihasilkan
tidak mampu hidup layak dan tidak kreatif dalam lingkungan kehidupannya. Selain
itu, pendidikan kurang mampu mengembangkan potensi (human capacity) yang
dimiliki individu secara optimal, tetapi lebih pada pengembangan manusia
sebagai suatu sumberdaya yang harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Melihat kenyataan seperti ini, maka amatlah tepat apabila
orientasi pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia mulai saat ini dan ke
depan lebih diarahkan pada Human Capacity
Development (HCD) secara terintegrasi dengan pengembangan kecakapan hidup
(life skills) dan bukan Human Resources
Development (HRD).
HCD mengacu pada proses pendidikan
yang bermuara pada pengembangan seluruh potensi kecerdasan manusia yang
bersifat majemuk (multiple intelligence), serta menggali dan mengembangkan
keunggulan tersembunyi (Hidden Excellent) yang dimilikinya. Proses pendidikan
seperti ini bisa berlangsung apabila ditunjang oleh suasana lingkungan belajar
yang kondusif: ramah, menyenangkan, fleksibel, gembira, multi-cara,
multi-indrawi, manusiawi, mengasuh dengan penuh kasih sayang, mengutamakan aktivitas mental-emosional-fisik,
bersifat inklusif/mengutamakan kerja sama, mementingkan tujuan, dan berbasis
pada hasil. Kondisi seperti ini mendorong peserta didik belajar tanpa tekanan,
sehingga dapat membangkitkan energi belajarnya. Sementara itu, HRD lebih
mengutamakan pengembangan potensi intelektual sebagai tekanan utama, sehingga
melahirkan lingkungan belajar yang kaku, membosankan, behavioristik, verbal,
mengendalikan, mengutamakan isi/materi, berorientasi mental kognitif, dan
berbasis pada kebutuhan. Kondisi seperti ini menimbulkan energi belajar melemah
sehingga peserta didik tidak mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Kecakapan hidup adalah kecakapan
yang di miliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan
kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya. Artinya,
kecakapan hidup tidak terbatas pada keterampilan untuk berkerja tetapi lebih
luas dari itu adalah kecakapan untuk menghadapi berbagai masalah hidup dan
kehidupan sekaligus mampu mencari dan menemukan pemecahanya. Ada lima kecakapan
dasar untuk menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yaitu:
1)
Kecakapan mengenali diri
(Self-awarness),
2)
Kecakapan berpikir (Thiking
Skills),
3)
Kecakapan sosial (Social
Skills),
4)
Kecakapan akademik (Academic
Skills), dan
5)
Kecakapan vokasional
(Vocational Skills)
Kelima kecakapan dasar ini perlu dikembangkan secara terintegrasi
dalam keseluruhan proses pendidikan, agar pendidikan mampu mengantarkan peserta
didik untuk bisa hidup layak pada kehidupannya kelak.
Berbagai kondisi pada latar
institusi pendidikan akan sangat mempengaruhi terhadap upaya dalam
membelajarkan peserta didiknya. Ada dua masalah pokok yang terkait dengan tugas
guru sebagai ujung tombak keberhasilan institusi pendidikan dalam membelajarkan
anak didiknya, 1) Bagaimana penyelenggaraan proses pembelajaran dewasa ini, dan
2) Bagaimana kegiatan pembelajaran seyogyanya dilakukan guru agar dapat
membangkitkan energi belajar pada diri siswa sehingga pembelajaran lebih
efektif?
A.
Penyelenggaraan Proses
Pembelajaran Dewasa ini
Bagaimana
proses penyelenggaraan pembelajaran di institusi pendidikan kita dewasa ini
dibandingkan dengan perkembangan masyarakat pada era global? Jika kita telaah
secara seksama, paling tidak ada tujuh hal yang menunjukkan ketidak sesuaian
antara proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tuntutan masyarakat
global, yaitu :
1. Sekolah masih menyelenggarakan
proses pembelajaran yang bersifat umum dan teoritik, sementara pada masyarakat
global setiap individu dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang bersifat
spesifik.
2. Sekolah menuntut setiap siswa
untuk mastery matery, sementara di masyarakat setiap individu dituntut untuk
sharing jobs and responsibility.
3. Proses pembelajaran di sekolah
kurang menuntut siswa untuk menggunakan alat-alat pikirnya (tool-lessthought),
sementara di masyarakat dituntut untuk mempu mengunakan peralatan kognitif
(cognitive tools) secara optimal.
4. Proses pembelajaran di sekolah
lebih mengarah pada pengembangan berpikir simbolik (symbolic thinking),
sementara di masyarakat dituntut untuk
terlibat secara langsung (direct involved).
5. Di sekolah anak didik cenderung
bertindak sebagai penerima informasi yang pasif dan guru bertindak sebagai
satu-satunya sumber informasi (dengan segala kekurangan dan kelebihannya),
sementara mesyarakat di era global menuntut kemampuan mencari, memilih, dan
memilah informasi (information searching).
6. Proses pembelajaran lebih
bersifat individual dan kompetitif, sementara pada masyarakat global menuntut
kemampuan kooperatif dan kolaboratif.
7. Orientasi tujuan pembelajaran ke
arah pengembangan kemampuan kognitif (kecerdasan intelektual) lebih mendominasi
dalam proses pembelajaran, sementara masyarakat global menuntut kemampuan
kognitif, afektif, psikomotor, dan kreativitas yang terintegrasi (baca:
kompetensi).
Jika
proses penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di institusi-institusi
pendidikan tidak dapat menyesuaikan dengan tuntutan yang dibutuhkan di
masyarakat, pada akhirnya institusi pendidikan tidak akan mampu mengantarkan
para peserta didiknya untuk dapat hidup dalam masyarakat tetapi justru
sebaliknya akan menyebabkan mereka terasing dari masyarakatnya. Oleh karena
itu, institusi pendidikan harus melakukan perubahan proses penyelenggaraan
pendidikan secara terus menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan
yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Meminjam kata dari Dryden dan Vos[3]
secara ekstrim dikatakan bahwa sekolah perlu melakukan revolusi pembelajaran
(the learning revolution) agar kita (bukan hanya peserta didik) dapat belajar
apapun dengan lebih baik dan lebih cepat dalam masyarakat global yang cenderung
cepat berubah dan tak terduga.
B. Kegiatan Pembelajaran
Bagaimana
kegiatan pembelajaran seyogyakan dilakukan agar terjadi belajar kuantum? Terkait
dengan pertanyaan tersebut, ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran agar
efektif atau terjadi belajar kuantum, yaitu:
1. Learning is most effective when
it’s fun (Peter Kline).
Ciptakanlah
suasana yang menyenangkan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Pecahkan
berbagai kendala belajar yang dialami oleh anak didik. Arahkan mereka untuk
bertumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri dan tidak muncul. Tampilkan
suasana hati kita sebagai guru yang positif dan raihlah minat siswa. Jangan
mengendalikan anak didik tapi jadilah pengasuh yang baik (ingat bagaimana Anda
belajar secara kuantum ketika bertumbuh dan berkembang secara mengagumkan pada
rentang usia 0 hingga 6 tahun di bawah asuhan orang tua).
2. To learn it, do it (Robert C.
Schank)
Jika
belajar hanya dengan cara mendengarkan maka konten yang dipelajari akan mudah
lupa, jika dengan cara melihat mungkin akan ingat tetapi belum tentu bisa, jika
dengan cara melakukan maka seluruh indera kita bekerja secara aktif sehingga
akan lama diingat dan pasti bisa. Oleh karena itu, lakukanlah kegiatan belajar
itu dengan melibatkan anak secara aktif bukan hanya sekedar fisik tetapi aktif
secara mental-emosional. Ciptakanlah alat peraga yang memungkinkan anak bisa
bereksplorasi dengan melakukan berbagai hal terkait dengan materi yang
diajarkan. Bila perlu dan memungkinkan, bawalah objek sesungguhnya yang
dipelajari ke dalam kelas atau bawalah anak didik ke lingkungan yang relevan
dengan bahan yang dipelajari.
3. Your brain is like a sleeping
giant (Tony Buzan)
Pelajarilah
berbagai hasil penelitian mutahir tentang cara kerja otak. Ubahlah pengetahuan
kita tentang itu semua ke dalam tindakan kita saat membelajarkan anak.
Kembangkanlah kemampuan otak anak secara maksimal melalui pembelajaran yang
berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti
berpikir analitis, kritis, dan pemecahan masalah. Jangan biarkan otak anak
didik kita terbaring terus dalam tidur yang panjang, atau jangan biarkan otak
anak bekerja sambil terkantuk-kantuk. Perhatikan agar kemampuan belahan otak
kanan dan kiri anak bisa berkembang secara seimbang.
4. The traditional education system
is Obsolute (Richard L. Measelle)
Dewasa
ini kegiatan pembelajaran lebih cenderung bersifat tertutup dan mutlak. Jika
guru bertanya dan siswa menjawab tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka guru
akan menyalahkan seolah-olah jawaban yang benar itu mutlak/tertutup dan tidak
ada alternatif jawaban lain. Perlu diingat bahwa: “Anak didik tidak pernah
salah dalam menjawab pertanyaan, mereka menjawab sesuai dengan persepsinya atas
pertanyaan tersebut. Tugas kita adalah mencari pertanyaan yang benar untuk
jawaban tersebut.” Ciptakanlah pembelajaran yang terbuka (divergen) agar
berkembang kemampuan berpikir kreatif anak.
5. Six main pathways to the brain :
we learn by what we see, what we hear, what we taste, what we touch, what we
smell, and what we do (Gordon Dryden)
Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan guru cenderung lebih banyak menggunakan metode
ceramah sehingga para siswa belajar hanya dengan mengandalkan kemampuan
menyerap informasi melaui pendengaran saja, padahal setiap individu memiliki
gaya belajar yang berbeda sesuai dengan kemampuan belajar yang menonjol pada
dirinya (auditory, visual, dan bodilykinestetics). Lebih parah lagi, secara
umum terjadi ketika kita melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan metode
ceramah, kita menyampaikan presentasi dan eksplanasi yang cenderung “berbicara
kepada siswa” ketimbang “berbicara dengan siswa”. Akibatnya, paling tidak
tergambar sebagai berikut:
1) komunikasi menjadi satu arah,
2) siswa pasif menerima informasi
dan terkesan seperti tong kosong yang siap diisi dengan berbagai informasi yang
mungkin saja tidak sesuai dengan harapannya,
3) pembelajaran menjadi teacher
center,
4) potensi intelektual, personal,
dan sosial siswa kurang bertumbuh dan
berkembang,
5) kurang memacu keterampilan
berpikir siswa,
6) kecil kemungkinan terjadi
self-discovery learning, dan
7) kepercayaan diri siswa melemah.
Semua itu menyebabkan hasil belajar yang dicapainya tidak maksimal. Oleh karena
itu, ciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkan semua kemampuan belajar
siswa berkembang.
6. An idea is a new combination of
old elements (Gordon Dryden)
Guru
seringkali memaksakan konsep atau materi baru yang diajarkan tanpa
mempertimbangkan pengetahuan yang telah dimiliki anak. Padahal manusia belajar
dan membangun pengatahuannya atas dasar pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Lakukanlah pembelajaran dimulai dari apa yang sudah diketahui siswa.
Mencermati
beberapa pemikiran cemerlang di atas dan kaitannya dengan penyelenggaran
pembelajaran, maka kita yakin bahwa (1) semua anak bisa belajar apapun jika
mereka senang melakukannya, (2) bagi anak berbakat (bakat intelektual)
belajarnya bisa dipercepat (accelerated learning) jika suasana belajar kondusif
untuk terjadinya percepatan belajar, (3) pembelajaran bukan hanya mampu
meningkatkan kemampuan atau kecerdasan intelektual anak tetapi juga kecerdasan
multiple anak.
Metode
pembelajaran yang bagaimanakah yang paling baik untuk terjadinya pembelajaran
yang efektif dan efisien? Tentu saja tidak ada metode yang paling baik, karena
metode pembelajaran sangat terkait dengan karakteristik materi pelajaran,
sarana dan keterampilan guru dalam melaksanakannya. Pada prinsipnya, quantum
learning menuntut diselenggarakannya kegiatan pembelajaran yang bersifat
multi-method dan multi-threat. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran yang
harus dilakukan ke depan disarankan mengunakan metode pembelajaran yang
bersifat integratif yang mampu membangkitkan seluruh energi pada diri anak
didik untuk belajar, salah satu contoh misalnya pembelajaran
kooperatif–kolaboratif.
Bagaimana
strategi pembelajaran yang harus kita rancang agar dapat mebangkitkan energi
belajar pada diri anak didik? Berikut ini disajikan strategi umum yang pada
penerpannnya dapat dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi yang dihadapi. Strategi yang dimaksud adalah:
a. Kegiatan pra-instruksional
Keberhasilan
guru dalam membelajarakan anak didik diawali dari aktivitasnya dalam mengawali
kegiatan pembelajaran (kegiatan pra-instruksional). Apabila pada kegiatan
pra-instruksional ini, guru mampu membangkitkan energi belajar pada diri anak
didik, maka keberhasilannya dalam membelajarkan anak didik sudah di depan mata.
Sebaliknya akan gagal jika pada kegiatan awal guru tidak mampu membangkitkan
energi belajar tersebut. Oleh karena itu, strategi yang harus disiasati guru
pada kegiatan pra-instruksional adalah mengidentifikasi berbagai alternatif
aktivitas maupun ungkapan verbal yang cocok dengan usia anak didik yang
dihadapi serta relevan dengan bahan pembelajaran yang akan disampaikan,
kemudian dikemas dengan apik dan cermat untuk disajikan mengawali proses
pembelajaran.
Suatu
bentuk aktivitas pra-instruksional itu dakatakan cocok apabila berdasarkan
pemikiran rasional maupun pengalaman empirik sebelumnya, aktivitas tersebut
teruji dapat membangkitkan energi belajar berupa:
1) Kepercayaan diri anak didik,
mereka meyakini bahwa dirinya dapat berhasil menguasai bahan yang akan
dipelajarinya “saya pasti bisa”.
2) Meraih minat anak didik, melalui
aktivitas dan ungkapan-ungkapan yang disampaikan guru menimbulkan minat dan
rasa ingin tahu yang besar pada diri anak didik.
3) Menciptakan AMBAK, mereka juga
meyakini bahwa apa yang akan dipelajarinya memberi manfaat bagi dirinya.
4) Mendorong timbulnya motivasi
belajar yang tinggi pada diri anak didik.
5) Mengaktifkan mental perancah
(scaffolding), apa yang sudah diketahui anak sebelumnya merupakan bahan pengait
yang akan menjadi mental perancah guna menguasai bahan pembelajaran baru.
Aktivitas
untuk membangkitkan itu semua dapat dilakukan melalui beragam permainan, cerita
pengantar diskusi, teka-teki, dan berbagai aktivitas kreatif lainnya.
Prinsipnya hindari aktivitas atau ungkapan verbal yang dapat menimbulkan
kontra-produktif.
b. Kegiatan Utama
Apabila
kegiatan pra-instruksional telah berhasil membangkitkan energi belajar sehingga
anak didik siap untuk belajar bahan pembelajaran baru, maka langkah selanjutnya
adalah merancang kegiatan inti yang memungkinkan anak belajar dalam suasana
yang aman, gembira, menyenangkan (tidak tertekan) namun menantang. Bahan
pembelajaran baru yang dimaksud meliputi:
1) pengetahuan (knowledge),
2) keterampilan (skills) baik
keterampilan motorik, berpikir, dan berbicara,
3) sikap dan nilai (attitude), serta
4) Pembiasaan bertindak yang
didasari oleh integritas kepribadian yang tinggi.
Kegiatan
pembelajaran utama pada intinya harus memuat:
1) Penjelasan disertai ilustrasi,
analogi, dan metafora yang relevan dengan bahan ajar dan cocok dengan
perkembangan intelektual dan emosional anak. Dalam hal ini, usahakan agar
terjadi interaksi multi-arah. Artinya jangan sampai terjadi dominasi ada di
pihak guru. Lakukanlah teknik “berbicara dengan siswa” bukan “berbicara kepada
siswa”.
2) Pemberian contoh dan noncontoh
untuk memantapkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran yang disampaikan.
3) Pemberian latihan yang dapat
mengembangkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran. Mulailah latihan dari
hal-hal yang sederhana, dan berilah kesempatan anak yang memiliki potensi lebih
pada bidang studi tersebut untuk berlatih lebih banyak.
4) Praktik untuk membiasakan anak menggunakan apa yang
sudah dipelajari ke dalam tindakan-tindakan nyata.
Pada
praktiknya, guru dituntut untuk melakukan kegiatan utama ini dengan
multi-traits, multi-methods, dan multi-games, sehingga melahirkan lingkungan
yang kondusif bagi anak untuk belajar dan mengembangkan seluruh potensinya
secara optimal. Guru bisa mengadopsi berbagai permainan dari berbagai media dan
memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan untuk digunakan sebagai teknik
pembelajaran di kelas.
c. Kegiatan Penutup
Kegiatan
ini merupakan bagian untuk mengevaluasi keberhasilan guru dalam membelajarkan
anak didik dan keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Kegiatan penutup ini juga merupakan sarana bagi guru maupun
anak didik untuk mendapatkan umpan balik (feedback) dan penetapan tindak lanjut
yang harus dilakukan guru untuk memperbaiki kelemahan, kesulitan dan kekurangan
anak didik, serta memperbaiki program pembelajarannya.
Untuk mereformasi pendidikan
perlu dilakukan beberapa terobosan, seperti perlu ada kesepakatan dan komitmen
bersama dari para pemimpin bangsa dan partai politik untuk menghentikan
tendensi instrumentalisasi Depdiknas beserta segala perangkatnya di daerah. Capacity
building yang perlu dilakukan dalam tubuh birokrasi pendidikan tidak
dimaksudkan untuk memperkuat kembali peran negara seperti yang terjadi di era
Orde Baru, melainkan mencari titik imbang di antara ketiga pilar demokrasi:
negara, masyarakat (warga negara), dan pasar. Birokrasi pendidikan di tingkat
nasional perlu fokus pada kebijakan strategis dan visioner serta tidak terjebak
untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti ujian nasional,
pengadaan program sertifikasi guru, ujian sertifikasi guru serta manipulatif
seperti dalam proyek penerimaan calon pegawai negeri sipil.
Sebelum anggaran 20% bisa
direalisasikan, mekanisme monitoring dan evaluasi perlu dibuat dan dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh. Negosiasi pusat dan daerah dalam era desentralisasi
pendidikan seyogianya tidak berpusat pada siapa yang lebih berkuasa, melainkan
pembagian peran antara pusat dan daerah. Dengan kebijakan otonomi daerah setiap
kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis
masyarakat, tetapi tetap mengacu pada standar mutu yang ditetapkan secara
nasional. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan
persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai
persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya untuk
mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Referensi
Abi M.F. Yaqin (tt) Mendidik Secara Islami, Lintas Media,
Jombang
Education (April 20, 2008) Analisa Kritik Terhadap Praktek
Pendidikan Indonesia
Freire (1969) L’educazione come practica della libeazione
Ki Supriyoko (21
Agustus 2000) “Seriuslah Membenahi Pendidikan” Harian Kompas. Jakarta
UU No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Citra Umbara
Bandung. 2006
Nandang Hidayat,
M.Pd (tt) Ciptakan Lingkungan Yang Dapat Mebangkitkan Energi Belajar Pada Anak
Didik, Art.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar