Untukmu,
sosok yang nyata namun masih semu dalam hati.
Ragamu
selalu kugenggam, namun hatimu tak dapat kugapai.
Ku
persembahkan satu tulisan yang akan kau sesalkan di kemudian hari.
Kau
tahu, aku tertegun ketika kita tak bisa memiliki kisah yang selama ini kita
cita – citakan, kita rancang sedemikian rupa, kita tulis seindah mungkin di
diary elektronik merah kesukaanmu, dan tak jarang pula kita umbar – umbar ke
media sosial seperti mengumpan ikan di perairan dangkal yang mudah sekali untuk
disambar dan tak jarang pula kita menuai pujian. Namun, senja itu ku temukan
satu bukti yang cukup kuat kenapa akhir – akhir ini kau tak lagi bersua, tak
lagi memuji hingga memuja, tak bisa menyapa bagaikan kata yang buta aksara, dan
senyum bak sinar mentari yang mampu cerahkan hari milikmu itu berubah bagaikan
sihir yang bisa merubah segalanya, namun kali ini sihir yang kau punya begitu
kental aura negatifnya. Kau mulai menampakkan yang kita janjikan tak akan
pernah terjadi, yaitu sebuah hubungan yang membosankan dan berakhir sia - sia.
Aku
selalu berusaha untuk menjadi ratu yang kau idam – idamkan dan sialnya yang
kudapati hanyalah alunan kesedihan yang lirih, hati yang ringkih, menembus hati
hingga yang tersisa hanyalah pedih. Awalnya kau yang menawar harga terbaik
untuk pilihan yang akan kau kenakan bahkan yang nantinya akan kau pamerkan
disetiap sudut ruang lingkupnya. Tapi kini, kau temukan sesuatu yang modern
bernilai jual tinggi namun tak mengabaikan nilai estetika yang sopan. Kau
begitu cepat mengganti yang kau kenakan dulu, yang pernah membuatmu begitu di
“elu – elu” kan oleh penikmat seni dan desainer ternama. Dan sekarang mungkin
terlintas dibenakmu bahwa boneka pun enggan mengenakan ini karena mulai banyak
hina yang terbungkus tawa diikuti sumpah serapah yang tak terkira. Aku sadar,
ternyata aku hanyalah sebuah pajangan untuk menemani, supaya toko tak lagi sepi
dengan harapan baju dan celana baru itu punya teman yang lebih baik untuk
berbagi.
“Aku
mulai bosan”. Itu yang kau ungkap senja itu dibalik ceria yang kita lewati
sedetik sebelumnya. Namun, aku tahu kau berlindung dibalik bosan itu. Kira –
kira seperti ini jika ditulis “Aku tak menemukan sosok wanita terbaik pada masa
lalu ku pada dirimu, aku ingin sosok seperti ia”. Aku begitu yakin begitulah
tameng dari kata bosanmu itu. Akhir – akhir ini aku cek satu dari sekian banyak
akun sosial mediamu dan mataku tak henti – hentinya melihat postingan yang
berbau masa lalumu hingga menenggelamkan postingan tentang indahnya momen yang
telah kita lewati bersama. Keyakinan itu diperkuat lagi dengan adanya foto –
foto yang di tag di akun sosial media dia yang kau sebut penghianat dan wanita
termunafik jika bersamaku, namun setelah kau lepas dari pandanganku dia yang
selalu memenuhi hati dan pikiranmu. Well, I know that your reason. Kau masih
terjebak dalam nostalgia yang sama. Masih berat merelakan ketidakrelaan yang
nyata. Dan kau terus menghantam sebuah jam dinding yang sedang berdenting,
berharap itu akan rusak dan kedua jarumnya bisa berputar berlawanan arah. Ya.
Kembali ke masa lalu.
Aku
terhentak seketika. Bagaikankan petir yang menggelegar tepat dihadapanku.
Desingnya menusuk relung hati yang teramat dalam. Tak terasa bulir demi bulir
air mata mengalir membasahi gundukan pipi yang semakin hari terlihat semakin
“chubby”. Berjuta kata yang kita gunakan
untuk segala perdebatan yang terjadi setelah ungkapkan yang terasa bagaikan bom
meledakkan hati meriuhkan suasana waktu itu. Berjuta harap yang kulontarkan
bahwa aku ingin selalu disampingmu mewujudkan segala yang tertulis oleh kita.
Dan terakhir, perdebatan ini berakhir dengan berakhir. Ini adalah hal yang kutakutkan selama ini, dan sekarang
kusaksikan ini terjadi. Sungguh menyayat hati, menoreh luka yang tak kunjung
mengalirkan getah berwarna merah yang biasa kau sebut darah, menampung segala
perih yang meluap walau pun kau tak bisa melihat penguapannya.
Tak
ingatkah dulu, kita pernah berbahagia tanpa sedikit pun resah dan gelisah. Ada
cinta yang merekah diantara bunga yang terindah. Ada mimpi yang semakin tinggi
dalam kita. Banyak lagi beragam cerita yang telah kita ukir bersama. Dan yang
masih segar dalam ingatan ialah saat kau ku tangkap dikala sayapmu patah. Patah
karena dia yang dulu kau cinta. Berdiri saja kau masih tak seimbang. Namun kini
yang terlihat kau mengambil sayapku agar kau dapat terbang sendiri. Meninggalkan yang telah terukir. Kau
terbang jauh keatas, melihat keindahan disana. Namun, kau tetap jalan ditempat.
Yang kau sebut jauh terbang keatas mu itu adalah yang membuat sayapmu patah
sebelumnya. Dimatamu tetap ia yang terbaik. Iya, terbaik. Terbaik dalam
menyakiti hati sesorang menurutku. Ah, sudalah. Aku tak ingin bercerita seluas
jagad raya untuk melukiskan pelangi yang pernah kuhadirkan dalam hidupmu.
Hari
bergulir semakin cepat. Namun maafkan aku tak secepat itu untuk melupakanmu.
Maafkan aku yang masih mencintaimu. Kenangan itu masih muncul di kelopak mata sehingga membuatku melihat
bayanganmu, masih muncul di ujung bibir
seraya ingin berucap aku dulu mencintaimu bagaikan napas yang tersengal –
sengal sehingga memerlukan oksigen setiap waktu, dan masih saja bergeming di otak tiap lengkung senyum bibirmu.
Tenanglah, aku tlah mengerti ada cinta yang tak bisa di paksakan dan aku tak
akan lagi menuntut kau tuk setia dalam mencintaiku. Oleh karena itu, biarkanlah
aku tetap menyimpan rasa ini untukmu.
Dan
kelak kau akan mendapatkan selamat dariku. Selamat berbahagia atas pilihan yang
terbaik bagimu. Namun, satu hal yang aku takutkan adalah jika nanti kau menyadari sosok yang paling mencintai. Pedang yang
paling tajam yang membuatmu sadar, luka paling hina yang mengantarmu dalam
tangisan, rintihan ternyaring dari kesadaran yang tak terhindarkan. Dan aku
berdiri tegak menertawakan penyesalanmu dari cinta yang telah mati yang
terkubur jauh di dasar hati yang terdalam.
Sekarang,
aku akan mencoba berjalan dari perutmu yang mencerna makanan sampah yang membusung, merangkak naik dengan dorongan
begahmu, menetralisir sisa – sisa kenangan bersamamu yang melekat di dinding –
dinding hatimu, lalu melesat naik kerongkongan yang dulu sering mengatakan
janji – janji palsumu dan sesampainya di mulut, ku kumpulkan rasa pahit itu.
WUUUEEKKK!!! Muntahan itu untukmu beserta segalanya tentang masa laluku.
Setelah
itu, aku akan berpindah dari nama yang biasa aku selipkan dalam doa dengan nama
yang lain. Aku akan mencarinya walaupun harus “door to door” bekerja seperti
sales yang bekerja keras menawarkan barang langka yang baru berupa cinta. Jika
ada yang menawarkan dengan harga yang pas, akan ku berikan kepercayaan padanya
untuk menjaga barang langka ini. Jikalau didapati sebuah acuhan, tak mengapa,
akan ada peluk yang siap menangkap dikala ku terjatuh. Ini lebih baik dibanding
harus mengulang kisah bersamamu. Dan Heeeeeeyy!! Kini doa ku bukanlah tentang
namamu lagi.
Sebagai
maafku yang terakhir, maaf jikalau nanti kisahmu berganti dengan kisah lelaki
baruku. Jemputlah yang katamu itu bahagiamu. Ini adalah peluit pergantian penjaga sayang dalam hidupku. Aku pun ingin
bahagia sepertimu. Dan jika suatu saat nanti kita bertemu, saksikanlah betapa hebatnya aku telah mengganti kedudukanmu. Iya
kamu. Kamu yang tak pernah menghargai kehadiranku
selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar