Business

Sabtu, 26 Maret 2016

Saksi Sesalmu



Untukmu, sosok yang nyata namun masih semu dalam hati.
Ragamu selalu kugenggam, namun hatimu tak dapat kugapai.
Ku persembahkan satu tulisan yang akan kau sesalkan di kemudian hari.


Kau tahu, aku tertegun ketika kita tak bisa memiliki kisah yang selama ini kita cita – citakan, kita rancang sedemikian rupa, kita tulis seindah mungkin di diary elektronik merah kesukaanmu, dan tak jarang pula kita umbar – umbar ke media sosial seperti mengumpan ikan di perairan dangkal yang mudah sekali untuk disambar dan tak jarang pula kita menuai pujian. Namun, senja itu ku temukan satu bukti yang cukup kuat kenapa akhir – akhir ini kau tak lagi bersua, tak lagi memuji hingga memuja, tak bisa menyapa bagaikan kata yang buta aksara, dan senyum bak sinar mentari yang mampu cerahkan hari milikmu itu berubah bagaikan sihir yang bisa merubah segalanya, namun kali ini sihir yang kau punya begitu kental aura negatifnya. Kau mulai menampakkan yang kita janjikan tak akan pernah terjadi, yaitu sebuah hubungan yang membosankan dan berakhir sia - sia.
Aku selalu berusaha untuk menjadi ratu yang kau idam – idamkan dan sialnya yang kudapati hanyalah alunan kesedihan yang lirih, hati yang ringkih, menembus hati hingga yang tersisa hanyalah pedih. Awalnya kau yang menawar harga terbaik untuk pilihan yang akan kau kenakan bahkan yang nantinya akan kau pamerkan disetiap sudut ruang lingkupnya. Tapi kini, kau temukan sesuatu yang modern bernilai jual tinggi namun tak mengabaikan nilai estetika yang sopan. Kau begitu cepat mengganti yang kau kenakan dulu, yang pernah membuatmu begitu di “elu – elu” kan oleh penikmat seni dan desainer ternama. Dan sekarang mungkin terlintas dibenakmu bahwa boneka pun enggan mengenakan ini karena mulai banyak hina yang terbungkus tawa diikuti sumpah serapah yang tak terkira. Aku sadar, ternyata aku hanyalah sebuah pajangan untuk menemani, supaya toko tak lagi sepi dengan harapan baju dan celana baru itu punya teman yang lebih baik untuk berbagi.
“Aku mulai bosan”. Itu yang kau ungkap senja itu dibalik ceria yang kita lewati sedetik sebelumnya. Namun, aku tahu kau berlindung dibalik bosan itu. Kira – kira seperti ini jika ditulis “Aku tak menemukan sosok wanita terbaik pada masa lalu ku pada dirimu, aku ingin sosok seperti ia”. Aku begitu yakin begitulah tameng dari kata bosanmu itu. Akhir – akhir ini aku cek satu dari sekian banyak akun sosial mediamu dan mataku tak henti – hentinya melihat postingan yang berbau masa lalumu hingga menenggelamkan postingan tentang indahnya momen yang telah kita lewati bersama. Keyakinan itu diperkuat lagi dengan adanya foto – foto yang di tag di akun sosial media dia yang kau sebut penghianat dan wanita termunafik jika bersamaku, namun setelah kau lepas dari pandanganku dia yang selalu memenuhi hati dan pikiranmu. Well, I know that your reason. Kau masih terjebak dalam nostalgia yang sama. Masih berat merelakan ketidakrelaan yang nyata. Dan kau terus menghantam sebuah jam dinding yang sedang berdenting, berharap itu akan rusak dan kedua jarumnya bisa berputar berlawanan arah. Ya. Kembali ke masa lalu.
Aku terhentak seketika. Bagaikankan petir yang menggelegar tepat dihadapanku. Desingnya menusuk relung hati yang teramat dalam. Tak terasa bulir demi bulir air mata mengalir membasahi gundukan pipi yang semakin hari terlihat semakin “chubby”.  Berjuta kata yang kita gunakan untuk segala perdebatan yang terjadi setelah ungkapkan yang terasa bagaikan bom meledakkan hati meriuhkan suasana waktu itu. Berjuta harap yang kulontarkan bahwa aku ingin selalu disampingmu mewujudkan segala yang tertulis oleh kita. Dan terakhir, perdebatan ini berakhir dengan berakhir. Ini adalah hal yang kutakutkan selama ini, dan sekarang kusaksikan ini terjadi. Sungguh menyayat hati, menoreh luka yang tak kunjung mengalirkan getah berwarna merah yang biasa kau sebut darah, menampung segala perih yang meluap walau pun kau tak bisa melihat penguapannya.
Tak ingatkah dulu, kita pernah berbahagia tanpa sedikit pun resah dan gelisah. Ada cinta yang merekah diantara bunga yang terindah. Ada mimpi yang semakin tinggi dalam kita. Banyak lagi beragam cerita yang telah kita ukir bersama. Dan yang masih segar dalam ingatan ialah saat kau ku tangkap dikala sayapmu patah. Patah karena dia yang dulu kau cinta. Berdiri saja kau masih tak seimbang. Namun kini yang terlihat kau mengambil sayapku agar kau dapat terbang  sendiri. Meninggalkan yang telah terukir. Kau terbang jauh keatas, melihat keindahan disana. Namun, kau tetap jalan ditempat. Yang kau sebut jauh terbang keatas mu itu adalah yang membuat sayapmu patah sebelumnya. Dimatamu tetap ia yang terbaik. Iya, terbaik. Terbaik dalam menyakiti hati sesorang menurutku. Ah, sudalah. Aku tak ingin bercerita seluas jagad raya untuk melukiskan pelangi yang pernah kuhadirkan dalam hidupmu.
Hari bergulir semakin cepat. Namun maafkan aku tak secepat itu untuk melupakanmu. Maafkan aku yang masih mencintaimu. Kenangan itu masih muncul di kelopak mata sehingga membuatku melihat bayanganmu, masih muncul di ujung bibir seraya ingin berucap aku dulu mencintaimu bagaikan napas yang tersengal – sengal sehingga memerlukan oksigen setiap waktu, dan masih saja bergeming di otak tiap lengkung senyum bibirmu. Tenanglah, aku tlah mengerti ada cinta yang tak bisa di paksakan dan aku tak akan lagi menuntut kau tuk setia dalam mencintaiku. Oleh karena itu, biarkanlah aku tetap menyimpan rasa ini untukmu.
Dan kelak kau akan mendapatkan selamat dariku. Selamat berbahagia atas pilihan yang terbaik bagimu. Namun, satu hal yang aku takutkan adalah jika nanti kau menyadari sosok yang paling mencintai. Pedang yang paling tajam yang membuatmu sadar, luka paling hina yang mengantarmu dalam tangisan, rintihan ternyaring dari kesadaran yang tak terhindarkan. Dan aku berdiri tegak menertawakan penyesalanmu dari cinta yang telah mati yang terkubur jauh di dasar hati yang terdalam.
Sekarang, aku akan mencoba berjalan dari perutmu yang mencerna makanan sampah yang membusung, merangkak naik dengan dorongan begahmu, menetralisir sisa – sisa kenangan bersamamu yang melekat di dinding – dinding hatimu, lalu melesat naik kerongkongan yang dulu sering mengatakan janji – janji palsumu dan sesampainya di mulut, ku kumpulkan rasa pahit itu. WUUUEEKKK!!! Muntahan itu untukmu beserta segalanya tentang masa laluku.
Setelah itu, aku akan berpindah dari nama yang biasa aku selipkan dalam doa dengan nama yang lain. Aku akan mencarinya walaupun harus “door to door” bekerja seperti sales yang bekerja keras menawarkan barang langka yang baru berupa cinta. Jika ada yang menawarkan dengan harga yang pas, akan ku berikan kepercayaan padanya untuk menjaga barang langka ini. Jikalau didapati sebuah acuhan, tak mengapa, akan ada peluk yang siap menangkap dikala ku terjatuh. Ini lebih baik dibanding harus mengulang kisah bersamamu. Dan Heeeeeeyy!! Kini doa ku bukanlah tentang namamu lagi.

Sebagai maafku yang terakhir, maaf jikalau nanti kisahmu berganti dengan kisah lelaki baruku. Jemputlah yang katamu itu bahagiamu. Ini adalah peluit pergantian penjaga sayang dalam hidupku. Aku pun ingin bahagia sepertimu. Dan jika suatu saat nanti kita bertemu, saksikanlah betapa hebatnya aku telah mengganti kedudukanmu. Iya kamu. Kamu yang tak pernah menghargai kehadiranku selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar